Melaksanakan Pemilu Damai Wujud Konkret Mencintai Indonesia
Oleh
ADI SUCIPTO KISSWARA
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Semua komponen bangsa diharapkan bisa berkontribusi dalam menciptakan pemilihan umum yang damai. Turut mendorong terciptanya pemilu damai menjadi salah satu wujud konkret anak bangsa mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal itu setidaknya menjadi salah satu bahasan seminar bertema ”Kemajuan Pembangunan Indonesia dan Tantangannya, Pemilu Damai 2019 Tanpa Konflik dan Perpecahan” di Surabaya, Kamis (21/2/2019). Dalam kesempatan itu juga digelar deklarasi pemilu damai yang diikuti perwakilan guru, mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, petani, kalangan pondok pesantren, dan usaha kecil dan menengah.
Semua bisa mengawasi di komunitas masing-masing demi terlaksananya pemilu damai.
Direktur Studi dan Pengembangan Keberdayaan Rakyat (Spektra) Surabaya KH Roni Sya’roni menyatakan, deklarasi pemilu damai di banyak wilayah dan dari berbagai elemen berbeda menjadi penting karena pemilu adalah hal biasa, jangan sampai karena pemilu merusak kerukunan. Deklarasi itu wujud komitmen bersama untuk mengawal pemilu damai, tanpa konflik tanpa perpecahan.
Deklarasi itu diharapkan menjadi resonansi dan corong agar yang hadir bisa menggaungkannya di komunitas masing-masing. ”Semua bisa mengawasi di komunitas masing-masing demi terlaksananya pemilu damai,” ujarnya.
Ia juga memaparkan, segenap elemen masyarakat seharusnya terlibat menciptakan pemilu damai 2019 tanpa konflik tanpa perpecahan. Bangsa ini menghadapi tantangan berat dalam menjaga keutuhan negara terkait dengan perayaan pesta demokrasi, Pemilu 2019, April.
Keutuhan negara itu yang telah susah payah diperjuangkan para pendiri negeri ini harus terus dijaga.
Pemilu merupakan instrumen demokrasi yang menjadi ritus lima tahunan sebagai syarat rukun lembaga demokrasi. Menurut dia, pemilu janganlah mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan dan keutuhan bangsa dan negara.
Kepentingan pragmatis dan jangka pendek berkaitan dengan pencapaian dan perebutan kekuasaan jangan sampai mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yakni keutuhan NKRI. ”Keutuhan negara yang telah susah payah diperjuangkan para pendiri negeri ini harus terus dijaga,” kata Roni.
Jadi, semua komponen bangsa punya andil untuk berkontribusi dalam melaksanakan pemilu damai, setidaknya di lingkungan masing-masing.
Ia menambahkan, perkembangan perebutan dan upaya mendapatkan kekuasaan harus dilaksanakan sesuai koridor regulasi, norma, hukum dengan cara damai dan penuh peradaban. ”Jadi, semua komponen bangsa punya andil untuk berkontribusi dalam melaksanakan pemilu damai, setidaknya di lingkungan masing-masing,” katanya.
Ia mengutarakan, persaingan dalam mendapatkan dan memperebutkan kekuasaan memang memesona. Akan tetapi, proses perebutan kekuasaan juga mempunyai daya rusak yang melampaui norma, aturan, dan kemanusiaan jika tidak terkelola dengan baik.
Pemilu yang menjadi instrumen proses perubahan kekuasaan harus dijaga kualitasnya dan jangan sampai malah menjadi pemicu rusaknya kerukunan. Berbagai persoalan bisa jadi merusak upaya melaksanakan pemilu damai.
Pemicunya bisa karena sikap intoleran, penyebaran ideologi di luar kerangka NKRI, ketimpangan sosial, ketimpangan antarwilayah, dan lemahnya pertumbuhan ekonomi. ”Maka, sikap intoleran harus dicegah bersama. Pembangunan juga harus merata dan kondisi ekonomi dijaga kestabilannya untuk mencegah perpecahan,” katanya.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Ahmad Erani Yustika dalam kesempatan itu memaparkan, semua pihak bisa berjuang dalam menegakkan demokrasi di negeri ini. Pemilu damai tanpa riak pertikaian dan perpecahan menjadi penting diwujudkan.
Jangan sampai kepentingan bernegara tertindih dan kalah hanya karena kepentingan sementara jangka pendek, pergantian dan perebutan kekuasaan.
”Jangan sampai kepentingan bernegara tertindih dan kalah hanya karena kepentingan sementara jangka pendek, pergantian dan perebutan kekuasaan. Perlu kebeningan hati dan kejernihan pikiran untuk mendorong persatuan dan keutuhan bangsa dan mencegah perpecahan,” tutur Erani.
Semua warga negara juga harus bijak melihat realitas, bukan semata-mata berpikir sempit dan selalu melihat sisi negatif dari pencapaian pemerintah hampir lima tahun terakhir. Pencapaian pembangunan perlu diapresiasi, kekurangannya pun perlu dikritisi. ”Belum semua pembangunan terang benderang, tetapi juga tidak semuanya gelap,” ucap Erani.
Pertumbuhan ekonomi sekitar 5 persen dan tingkat inflasi terkelola sekitar 3,5 persen tergolong positif. Akan tetapi, harus dilihat, apakah pertumbuhan rata-rata itu terdistribusi secara merata.
Belum semua pembangunan terang benderang, tetapi juga tidak semuanya gelap.
”Mungkin realitasnya ada masyarakat yang ekonominya tumbuh lebih dari 50 persen, tetapi sebaliknya ada yang malah minus. Neraca perdagangan yang sempat tumbuh positif tiga kurun, 2014-2017, kembali defisit pada 2018 juga perlu dievaluasi,” katanya.
Akademisi dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Muhammad Khadafi, berpendapat, kebenaran perlu dinarasikan. Ketika ketidakbenaran terus-menerus dinarasikan, termasuk digencarkan melalui media sosial, lambat laun akan dianggap sebagai suatu kebenaran.
Kebenaran yang tidak dinarasikan bisa malah dianggap salah karena kalah dengan ketidakbenaran yang terus-menerus dinarasikan.
Narasi kondisi sebenarnya yang didukung data riil akan membantu masyarakat mempunyai referensi dalam menentukan sikap politik. ”Kebenaran yang tidak dinarasikan bisa malah dianggap salah karena kalah dengan ketidakbenaran yang terus-menerus dinarasikan,” kata Khadafi.