Revisi RTRW Provinsi Bali Lebih Mengakomodasi Isu Lingkungan
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Revisi Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 diharapkan lebih mengakomodasi perihal isu lingkungan dan kearifan lokal Bali. Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW Provinsi Bali harus menjadi acuan perencanaan dan strategi penataan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di Bali.
Demikianlah benang merah dari diskusi bertajuk ”Membedah Revisi Perda RTRW Bali dari Perspektif Pelestarian Lingkungan” di Kantor Kompas Perwakilan Bali di Denpasar, Bali, Jumat (22/2/2019). Diskusi itu diselenggarakan Masyarakat Jurnalis Indonesia Pemerhati Lingkungan (The Society of Indonesian Environmental Journalist/SIEJ) Simpul Bali bersama Conservation International (CI) Indonesia.
Diskusi yang dipandu Komang Arya Ganaris dari Yayasan Manikaya Kauci, Bali, itu menghadirkan tiga narasumber, yaitu Made Arca Eriawan dari Kelompok Ahli Pembangunan Pemerintah Provinsi Bali; I Gede Hendrawan, dosen dan peneliti dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana; dan Iwan Dewantama, Manajer Jejaring CI Indonesia.
Perda RTRW Bali 2009-2029 disepakati untuk direvisi dan disesuaikan dengan visi pembangunan Provinsi Bali. Proses revisi Perda RTRW Bali 2009-2029 sudah berada di Panitia Khusus DPRD Bali dan sedang disosialisasikan ke kabupaten dan kota di Bali.
”RTRW bersifat umum. Undang-undang mengatur RTRW berlaku 20 tahun, dan setiap lima tahun disesuaikan dengan dinamika daerah,” kata Eriawan. Menurut Eriawan, Perda RTRW Bali 2009-2029 mengindikasikan berkualitas baik dan kesahihan baik, tetapi perkembangan daerah menunjukkan dinamika. ”Gubernur Bali sekarang menetapkan visi pembangunan Bali dengan konsep satu pulau satu tata kelola,” kata Eriawan.
Adapun Iwan mengatakan, materi mengenai lingkungan seharusnya lebih ditekankan meskipun revisi Perda RTRW Bali tersebut sudah memasukkan isu lingkungan dalam pembahasannya. Iwan menyebutkan, prinsip pembangunan berkelanjutan juga perlu diakomodasi dalam pembahasan revisi Perda RTRW Bali.
”Revisi Perda RTRW Bali ini harus mempertegas bahwa penataan Bali tidak sekadar menerima keinginan dari pusat,” kata Iwan dalam diskusi tersebut.
Senada dengan Iwan, I Nyoman Mardika dari Forum Rakyat Bali (ForBali) Tolak Reklamasi Teluk Benoa mengatakan, isu lingkungan dan isu sosial budaya perlu dibahas lebih banyak dan lebih mendalam dalam pembahasan revisi Perda RTRW Bali.
Menurut Mardika, kepentingan daerah Bali lebih diperhatikan daripada keinginan dari pusat. ”Sejumlah kasus, misalnya proyek reklamasi di Pelabuhan Benoa dan perluasan Bandara Ngurah Rai, sudah menunjukkan bagaimana posisi daerah ketika berhadapan dengan kepentingan pusat,” ujar Mardika.
Peneliti dari Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Udayana, Hendrawan, mengungkapkan, aspek lingkungan merupakan ujung tombak pembangunan Bali. Perekonomian Bali, menurut Hendrawan, digerakkan industri pariwisata. Aktivitas pariwisata di Bali, ujar Hendrawan, mengandalkan alam, lingkungan, dan budaya. ”Kalau lingkungan tidak diperhatikan, bagaimana dengan industri pariwisatanya?” kata Hendrawan.
Direktur Yayasan Wisnu Made Suarnatha menyatakan, penataan ruang dan wilayah di Bali tidak semata-mata mengakomodasi aspek keruangan (spasial), tetapi juga berkaitan dengan aspek filosofi dan nilai yang ada pada masyarakat.