SEMARANG, KOMPAS — Pemerintah Kota Semarang, Jawa Tengah, menerapkan sejumlah kebijakan untuk mengurangi potensi penyakit demam berdarah dengue. Selain menerbitkan peraturan daerah yang mengenakan sanksi terhadap warga yang di rumahnya terdapat jentik, siswa sekolah juga diwajibkan memakai celana panjang.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang Widoyono mengatakan, pada periode 2010-2018, jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD) terus menurun. Pada 2018 terdapat 103 kasus dan satu orang meninggal. Itu pencapaian terbaik Kota Semarang dalam mencegah dan mengatasi DBD beberapa tahun terakhir.
Namun, seperti yang terjadi pada sejumlah daerah di Indonesia, bahkan Asia Tenggara, jumlah kasus meningkat pada awal 2019. Sempat menyentuh jumlah terendah pada kasus demam berdarah dengue pada 2018, sejumlah warga Kota Semarang kembali terjangkit penyakit itu. Hingga Senin (25/2/2019) terdapat 154 kasus dan lima orang dinyatakan meninggal. Gerakan pencegahan terus digalakkan.
”Selain faktor cuaca, juga perilaku masyarakat. Dengan meningkatnya kasus, kami akan total menggalakkan PSN (pemberantasan sarang nyamuk),” kata Widoyono, Selasa (26/2/2019).
Widoyono menambahkan, Kota Semarang memiliki sekitar 200 tenaga surveilans kesehatan yang tersebar di 177 kelurahan. Setidaknya di satu kelurahan ada satu petugas. Jika sebelumnya tenaga surveilans juga diberdayakan untuk pencegahan HIV/AIDS, tahun ini mereka akan kembali fokus pada DBD.
Pada 2019, anggaran untuk Dinas Kesehatan dari APBD sebesar Rp 241 miliar dan khusus DBD Rp 6,1 miliar. ”Melihat peningkatan kembali kasus DBD, ada kemungkinan anggaran ditambah melalui APBD Perubahan nanti. Yang jelas, DBD menjadi perhatian serius kami,” katanya.
Widoyono menambahkan, Semarang sebenarnya memiliki catatan bagus dalam penanganan DBD. Setelah terjadi 5.556 kasus dan 47 meninggal pada 2010, Pemerintah Kota Semarang memberi perhatian serius. Selain kampanye PSN, sejumlah terobosan dilakukan guna menurunkan angka kasus penyakit tersebut. Hasilnya, jumlah kasus terus menurun hingga 2018.
Selain melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2010 yang memberi sanksi denda kepada warga yang di rumahnya terdapat jentik, ada juga kebijakan pada seragam sekolah. ”Sejak itu, siswa SMP menggunakan celana panjang, kemudian diikuti siswa SD. Sebab, menurut penelitian yang dilakukan, banyak nyamuk di bawah bangku sekolah,” kata Widoyono.
Ia menambahkan, fogging (pengasapan) terus diminimalkan. Selain hanya membunuh nyamuk dewasa, fogging juga memunculkan masalah lain. Partisipasi warga yang rumahnya di-fogging rendah karena merasa sudah aman. Padahal, menurut dia, kepedulian masyarakat untuk terus melakukan pemantauan dengan 3M berperan penting mengatasi DBD.
Kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk tim penggerak PKK, penting untuk memantau jentik-jentik di perumahan. ”Namun, masih ada sejumlah kendala, seperti di kawasan perumahan elite. Petugas pemantauan jentik yang hendak mengecek kerap kali kesulitan akses,” ucapnya.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi sebelumnya juga mengingatkan warga untuk terus menjaga kebersihan lingkungan demi terhindar dari DBD. Ia juga mengajak warga untuk mengaktifkan PSN.
”Kalau tidak ingin ada yang terkena DBD, caranya harus intensifkan dan aktifkan program PSN. Setiap Jumat pagi dicek saluran, vas bunga, bak mandi, kalau ada air atau jentik nyamuk segera dikuras,” kata Hendrar kepada sejumlah warga Semarang.
Menurut data Dinas Kesehatan Kota Semarang, peningkatan jumlah kasus DBD utamanya terdapat di Kecamatan Tembalang, Candisari, Gajahmungkur, Banyumanik, dan Pedurungan. Perilaku warga menjadi salah satu faktor penyebab, di samping kondisi cuaca.
Jumani (49), warga Tembalang, mengatakan, lewat PKK, warga di sekitar rumahnya rutin menggalakkan pemeriksaan jentik nyamuk ke rumah-rumah. Kini, upaya itu akan lebih intensif. ”Banyaknya kasus di banyak daerah membuat kami waspada. Kami mulai dari rumah sendiri,” katanya.