BANDAR LAMPUNG, KOMPAS – Anak berkebutuhan khusus atau disabilitas rentan menjadi korban kekerasan seksual. Kondisi ketidakberdayaan korban kerap dimanfaatkan oleh pelaku. Untuk itu, pemerintah daerah dan masyarakat diminta meningkatkan kepedulian terhadap lingkunganya.
Hal itu dikatakan Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar saat rapat koordinasi dengan sejumlah instansi terkait, Jumat (1/3/2019), di Bandar Lampung. Rapat tersebut digelar untuk menindaklanjuti penanganan kasus kekerasan seksual yang menimpa AG (18), remaja putri asal Kabupaten Pringsewu, Lampung.
Dia menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan ayah dan dua saudara kandungnya. AG yang merupakan tunagrahita tak lagi memiliki ibu, yang meninggal pada 2016.
“Koordinasi diharapkan dapat lebih menguatkan sistem perlindungan khusus anak. Selain itu, dapat melahirkan pola atau model penanganan untuk anak berkebutuhan khusus,” papar Nahar.
Menurut Nahar, penanganan anak penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan harus berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak tersebut. Dia menilai, penanganan sebaiknya dilakukan dekat dari tempat asalnya serta orang-orang terdekat yang bisa memahami kebutuhan anak.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Lampung Bayana mengatakan, kekerasan seksual yang menimpa AG menyadarkan banyak pihak bahwa ancaman kekerasan seksual amat dekat. Menurut dia, diperlukan peran seluruh instansi untuk dapat mencegah hal itu.
“Pengawasan dan kepedulian melalui perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat harus diperkuat hingga ke desa dan kelurahan,” kata Bayana.
Rapat koordinasi itu menyepakati rencana tindak lanjut, diantaranya, pemetaan terhadap anak penyandang disabilitas di daerah, memberikan edukasi pada keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus dan masyarakat di sekitarnya.
Pengawasan dan kepedulian melalui perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat harus diperkuat hingga ke desa dan kelurahan
Kasus lain
Yurni selaku psikolog anak dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Provinsi Lampung, yang menangani korban AG; mengatakan, AG bukan merupakan tunagrahita sejak lahir. Dari hasil analisis tim psikolog, daya pikir AG sebenarnya cukup baik. Namun, pola pengasuhan dan pendidikan yang buruk membuat kemampuan verbal AG amat terbatas. Perilakunya menyerupai anak usia 5-6 tahun.
Orangtua dan saudara kandung korban yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi pelaku kekerasan seksual. Tingkat pendidikan yang rendah serta paparan pornografi menjadi salah satu faktor pemicu.
Menurut Yurni, kasus kekerasan seksual terhadap AG bukan yang pertama kali terjadi di Lampung. Masih ada kasus lain yang juga membutuhkan penanganan serius.
Selama Januari-Februari 2019, P2TP2A telah menangani 16 kasus kekerasan terhadap anak. Sebagian korban merupakan anak penyandang disabilitas, tunarungu atau tunagrahita.
Untuk mencegah kasus serupa terulang, kata dia, masyarakat perlu melakukan deteksi dini terhadap lingkungannya. Hal-hal yang perlu diperhatikan, misalnya perubahan perilaku korban.
Ketua Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi menuturkan, kasus kekerasan seksual terhadap anak penyandang disabilitas diyakini bukan pertama kali ini terjadi. Fenomena kekerasan seksual terhadap anak bagaiman fenomena gunung es. Di tempat lain, kasus serupa mungkin saja terjadi. Kepedulian masyarakat sekitarlah yang mampu mendeteksi kasus tersebut.