Jangan Jadikan Kengerian Politik Jelang Pemilu Siklus Lima Tahunan
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Mendekati hari H pemungutan suara, 17 April mendatang, segenap masyarakat diharapkan mampu mengubah perilaku dan menciptakan suasana yang lebih menyenangkan dengan menyebarkan hal-hal positif terkait pemilu. Upaya ini perlu dilakukan agar ketegangan, kecemasan, dan panasnya situasi yang kerap terjadi menjelang pemilu tidak kembali berulang kali terjadi.
”Jangan sampai segala kecemasan, kengerian, dan situasi tidak menyenangkan ini dibiarkan menjadi kebiasaan, menjadi siklus terus berulang yang terjadi setiap lima tahun sekali. Kita harus memilih dengan gembira,” ujar Direktur Bina Ideologi, Karakter, dan Wawasan Kebangsaan Kementerian Dalam Negeri Prabawa Eka Soesanta dalam acara Forum Dialog Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan yang Beroperasi Efektif di Kota Magelang, Jawa Tengah, Jumat (1/3/2019).
Jangan sampai segala kecemasan, kengerian, dan situasi tidak menyenangkan ini dibiarkan menjadi kebiasaan, menjadi siklus terus berulang yang terjadi setiap lima tahun sekali. Kita harus memilih dengan gembira.
Prabawa mengatakan, pemilu adalah suatu keniscayaan. Perbedaan pilihan yang terjadi antarpemilih, menurut dia, adalah hal yang wajar terjadi dan semestinya bisa dimaklumi satu sama lain.
Namun, yang terjadi hal wajar itu pun tidak bisa diterima dengan baik. Perbedaan pilihan dalam pemilu atau pilpres bisa dengan mudahnya merenggangkan tali silaturahmi antarteman atau keluarga.
Berulang kali kecewa
”Secara pribadi, saya pun berulang kali kecewa. Setelah susah payah mengumpulkan teman-teman sekolah yang dahulu tidak diketahui kabarnya, tiba-tiba saja ada beberapa orang yang kemudian meninggalkan grup percakapan karena merasa tidak cocok dengan komentar dari teman lain yang berbeda pilihan,” ujarnya. Grup percakapan yang dimaksudkan adalah grup dalam aplikasi percakapan seperti Whatsapp.
Situasi tidak menyenangkan semacam itu, menurut dia, juga dipicu oleh perilaku tim pendukung dan simpatisan dari calon yang didukung, yang lebih terbiasa menyebarkan hal-hal buruk dari lawan, dibandingkan menyebarkan hal-hal baik dari program kerja calon yang diusungnya. ”Tak heran, akhirnya banyak berita yang tersampaikan dan diterima publik melulu berita buruk seperti ujaran kebencian dan berita bohong,” ujarnya.
Menurut Prabawa, situasi tidak menyenangkan semacam itu sudah waktunya disudahi. Tim-tim pendukung kemenangan pasangan calon presiden, misalnya, saat ini harus lebih banyak memublikasikan tentang keunggulan dari visi misi dan program kerja dari calon yang didukung, dan tidak lagi terfokus mencari sisi negatif dari lawan.
Berita-berita tentang kebinekaan, tentang keberagaman, harus semakin diperbanyak sehingga masyarakat pun tidak begitu cepat suatu perbedaan kecil menjadi masalah besar.
Dosen FISIP Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ali Munhanif, mengatakan, situasi menjelang pemilu terasa tidak menyenangkan karena di masa sekarang partai politik, termasuk simpatisan, memanfaatkan setiap ruang publik untuk kepentingan elektoral. Hal ini bahkan dilakukan oleh beberapa dosen UIN Syarif Hidayatullah.
Ada dosen di kampus kami yang memanfaatkan kelas, ruang kuliah sebagai tempat kampanye.
”Ada dosen di kampus kami yang memanfaatkan kelas, ruang kuliah sebagai tempat kampanye,” ujarnya. Suasana pun makin panas karena saat ini media sosial ikut memainkan peran dalam sistem demokrasi di Indonesia.
”Saat ini, media sosial bisa menjadi sarana untuk memobilisasi massa, dan mengeksploitasi emosi,” ujarnya.