SEMARANG, KOMPAS Berita bohong yang deras mengalir, khususnya di media sosial, membutuhkan peran media arus utama dan masyarakat untuk menangkalnya bersama-sama. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dinilai belum optimal menghapus produksi kabar bohong dan ujaran kebencian.
”Kampanye perang terhadap kabar bohong harus dilakukan secara simultan, termasuk perusahaan penyedia teknologi yang mesti mengambil peran mendeteksi pesan-pesan di media sosial,” kata Direktur Asia Centre James Gomez, guru besar jurusan media di sejumlah universitas di Thailand, Singapura, dan Australia, pada diskusi Kompas bertema ”Berita Hoaks dan Pemilu Indonesia: Dampak UU ITE bagi Kebebasan Berekspresi” di Kantor Kompas Biro Jawa Tengah, Semarang, Senin (4/3/2019).
Turut berbicara, Direktur Tambora Institute Wisnu T Hanggoro dan Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Kota Semarang Aris Mulyawan.
Saat ini, misalnya, kata Gomez, Facebook tetap membutuhkan tenaga manusia untuk mendeteksi ujaran kebencian. ”Sebab, setiap kultur punya latar belakang sendiri,” ucapnya.
Untuk melawan peredaran kabar palsu, jurnalisme berkualitas perlu ditonjolkan. Perusahaan teknologi informasi seperti Google memunculkan berita dan media tepercaya di mesin pencari mereka.
Sayangnya, lanjut Gomez, upaya itu terbentur ketertarikan masyarakat terhadap kabar bohong. Jurnalisme berkualitas kerap dianggap tak cukup atraktif. Inilah tantangan media arus utama agar menyajikan berita sahih sekaligus atraktif.
Wisnu T Hanggoro mengatakan, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE belum menjamin berhentinya produksi kabar bohong dan ujaran kebencian.
Wisnu, yang pernah menjadi bagian Southeast Asian Press Alliance di Bangkok, Thailand, menambahkan, UU ITE masih kerap menjadi alat penguasa menekan kebebasan ekspresi, termasuk di bidang jurnalistik.
Ia menyoroti, UU ITE menjadi alat hukum paling mudah menjerat masyarakat yang berlainan pendapat dengan pihak lain. Di Indonesia, fenomena ini terbukti selalu berulang setiap menjelang pemilu.
Dua sisi
Meski digunakan menindak para pelaku ujaran kebencian atau penyebar kabar bohong, UU ITE juga dikhawatirkan mengancam kebebasan pers. ”Peraturan itu bisa dimanfaatkan untuk menghancurkan kerja jurnalisme,” kata Wisnu.
Di negara-negara Asia Tenggara terdapat beberapa kecenderungan yang sama. Masih terjadi kekerasan dan pelecehan terhadap jurnalis perempuan. Bahkan, ada negara yang kepala negaranya dipilih demokratis, tetapi kemudian tak mendukung kebebasan pers.
Maraknya distribusi kabar bohong, menurut peneliti Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI), Lilik Budihastuti Wiratmo, di antaranya dilatarbelakangi pergeseran literasi. Di kalangan mahasiswa, sangat sedikit yang masih mengakses media massa, termasuk televisi. Mereka lebih banyak mengonsumsi media sosial, bahkan untuk mengakses berita.
Sementara itu, Aris Mulyawan menuturkan, banyak kasus yang menjerat wartawan dengan UU ITE. Bahkan, berita yang dimasalahkan sebenarnya dalam peliputan sudah sesuai kaidah jurnalistik. Kasus-kasus semacam itu semestinya ditangani dengan UU No 40/1999 tentang Pers. (DIT/GRE)