AMBON, KOMPAS— Hingga Senin (4/3/2019), warga dua desa yang terlibat konflik, Desa Hualoy dan Desa Latu, di Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, belum mencapai kesepakatan damai. Kondisi itu menyebabkan masa depan pendidikan anak-anak yang sekolahnya terbakar akibat konflik masih menggantung.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Seram Bagian Barat Sam Sengaji yang dihubungi dari Ambon menuturkan, kegiatan belajar sebagian anak berlangsung di balai desa. Sisanya di sekolah lain. ”Kami tidak tahu sampai kapan kondisi ini berakhir. Kami berusaha maksimal agar kegiatan belajar-mengajar tetap berjalan lancar,” kata Sam.
Jumlah siswa yang sekolahnya hangus terbakar pada 20 Februari pagi sekitar 600 orang. Mereka dari SD Negeri 1 Hualoy, SD Negeri 2 Hualoy, SD Negeri Tomalehu, dan SMP Negeri 11 Kairatu. Demi kelancaran belajar serta keselamatan siswa dan guru, mereka diungsikan ke lokasi yang aman.
Siswa kelas I sampai III SDN 1 Hualoy ditambah semua siswa SDN 2 Hualoy dan siswa SDN Tomalehu direlokasi ke Balai Desa Hualoy. Siswa kelas IV sampai VI SDN 1 Hualoy menggunakan ruangan SMAN 5 Kairatu. Adapun siswa SMPN 11 Kairatu memakai gedung SMPN 12 Kairatu.
Sam mengatakan, kebutuhan dasar, seperti buku tulis, alat tulis, bangku, dan meja, tercukupi. Di beberapa ruangan yang disekat untuk beberapa kelas, para siswa berdesakan.
Secara psikologis, banyak anak masih ketakutan. Desiran peluru, bunyi tembakan, dan dentuman bom masih terbayang di kepala mereka. Mereka khawatir, kondisi serupa terulang.
Saat ini, kegiatan belajar-mengajar diawasi aparat keamanan. Saat konflik pecah, sejumlah anak sedang menuju sekolah. ”Untuk mengatasi ketakutan anak, tidak ada psikolog. Kami mengandalkan bimbingan guru-guru,” ucapnya.
Saat ini pihak sekolah memprioritaskan pelayanan bagi siswa kelas akhir, baik tingkat SD maupun SMP, yang akan mengikuti ujian nasional. Prioritas dimaksud terutama untuk bimbingan belajar. Saat ujian nasional berbasis komputer nanti, mereka akan dititipkan di sekolah terdekat.
Aparat belum ditarik
Kepala Humas Kepolisian Daerah Maluku Komisaris Besar M Roem Ohoirat mengatakan, ketegangan warga kedua kampung sudah mereda. Namun, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk, pasukan gabungan Polri dan TNI belum ditarik. Pasukan masih menyekat perbatasan kedua desa.
Hingga kini, upaya damai terus dilakukan, termasuk mengajak kedua belah pihak bicara dalam sebuah forum. Negosiasi terus diupayakan. Aparat melakukan pendekatan sekaligus penyisiran untuk mencari senjata api yang disimpan warga.
Pekan lalu, ditemukan 42 bom molotov, 44 bom pipa, 2 senjata rakitan, 2 alat pelontar bom, 7 anak panah, 1 peluru standar kaliber 5,56 milimeter, 1 parang, serta 122 liter campuran bensin dan minyak tanah untuk pembuatan bom molotov. Warga secara sukarela menyerahkan tujuh pucuk senjata laras panjang rakitan kepada petugas.
”Kesepakatan damai terus diupayakan aparat dan pemerintah daerah. Yang paling penting adalah kemauan dari masyarakat. Kami hanya menjembatani,” kata Roem.
Ketua Komnas HAM Maluku Benediktus Sarkol berpendapat, penyelesaian konflik dapat tuntas jika penegakan hukum dilakukan dengan tuntas. Kasus tersebut pemicunya adalah penganiayaan terhadap warga Hualoy yang dilakukan warga yang diduga dari Latu. Warga Hualoy meminta polisi segera menangkap pelaku, tetapi tidak berhasil.
”Selama pelaku penganiayaan belum ditangkap, warga belum puas. Ini psikologis orang Maluku. Polisi tentu memahami hal itu,” kata Benediktus. (FRN)