10 WNA Masuk Daftar Pemilih Tetap di DIY
YOGYAKARTA, KOMPAS—Sebanyak 10 orang Warga Negara Asing masuk ke dalam daftar pemilih tetap untuk Pemilu 2019, di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Potensi masuknya warga negara asing lainnya pada daftar tersebut masih terus ditelusuri.
Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu DIY Amir Nasiruddin menyampaikan, para warga negara asing itu sudah diverifikasi langsung oleh petugas.
Hasil verifikasi itu menunjukkan bahwa mereka memang tidak mempunyai hak pilih karena masih berstatus sebagai warga negara asing. Adapun sebarannya terdapat di wilayah Kabupaten Bantul, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Sleman.
“Paling banyak ada di Bantul, yaitu 8 orang. Dua orang lainnya ada di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Masing-masing satu orang. Itu menurut temuan per hari (Rabu) ini,” kata Amir, saat ditemui, di Kantor Bawaslu DIY, Yogyakarta, Rabu (6/3/2019).
Amir menambahkan, sebagian besar warga negara asing itu berasal dari Belanda. Tetapi, ada juga yang berasal dari negara lain, seperti Swiss, Jepang, dan Spanyol. Kebanyakan dari mereka menikah dengan warga negara Indonesia, sehingga berdomisili di negara ini. Lama tinggalnya juga cukup beragam.
“Di Gunungkidul, sempat ada laporan satu warga negara asing masuk DPT. Tetapi, setelah diberifikasi, dia sudah menjadi WNI. Dia tinggal telah lebih dari 10 tahun dan menikah dengan WNI,” kata Amir.
Sementara itu, Ketua Bawaslu DIY Bagus Sarwono mengungkapkan, pihaknya masih terus menelusuri kemungkinan adanya warga negara sing lain yang masuk ke dalam DPT. Penelusuran dilakukan dengan cara mengidentifikasi nama dan tempat lahir pemilih. Lalu, alamat pemilih yang dicurigai sebagai WNA, akan didatangi secara langsung untuk diverifikasi.
“Kami cek langsung di lapangan. Semua petugas menyisir potensi adanya WNA yang masih masuk dalam DPT. Hingga saat ini, di Sleman, ada potensi 32 pemilih yang terdaftar di DPT merupakan WNA. Di, Gunungkidul, ada 9 pemilih,” kata Bagus Sarwono.
Terkait hal itu, Amir mengungkapkan, pihaknya akan mengkaji lebih lanjut tentang temuan-temuan masuknya WNA ke dalam DPT tersebut. Ia meminta agar KPU DIY segera mencoret WNA dari daftar tersebut sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Syarat menjadi pemilih adalah warga negara Indonesia. Kami akan mengkaji lagi apakah ini pelanggaran administrasi atau teknis. Jika pelanggaran administrasi, maka akan dilanjutkan lewat proses adjudikasi. Jika memang kesalahan teknis, kami akan meminta KPU untuk mencoret nama-nama yang sudah diverifikasi dan dinyatakan sebagai WNA,” kata Amir.
Secara terpisah, Ketua Perencanaan, Data, dan Informasi KPU DIY Wawan Budiyanto menyatakan, pihaknya juga bakal mengklarifikasi langsung temuan-temuan dari Bawaslu DIY. Jika memang pihak yang terdaftar, dalam hal ini WNA, tidak memenuhi syarat, ia akan langsung mencoretnya dari DPT.
“Kami klarifikasi apakah pemilih memenuhi syarat atau tidak. Karena ini sudah DPT, yang bersangkutan (WNA) akan kami coret dari daftar pemilih. Nanti akan kami beri tanda sehingga orang tahu bahwa dia tidak bisa menggunakan hak pilihnya. Kami akan mencoret nama pemilih jika memang tidak memenuhi syarat,” kata Wawan.
Sementara itu, Amir menduga, masuknya WNA ke dalam DPT itu disebabkan oleh digunakannya sistem pendataan DPT melalui KTP-el. Hal itu memungkinkan WNA yang mengantongi KTP-el turut dimasukkan pada daftar tersebut.
“Sistem itu kan tidak mem-filter. Problemnya kami melihat di situ, sehingga, semua yang ada (punya) KTP-el itu masuk semua. Baik WNI maupun WNA,” kata Amir.
Abdul Gaffar Karim, dosen dari Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, menyampaikan, ada dua hal yang bisa membuat peristiwa itu terjadi, yaitu kelalaian dan kesengajaan. Ia mengharapkan, peristiwa itu sekadar kelalaian dari penyelenggara pemilu saja.
“Tetapi, kita tidak bisa menganggap remeh. Ini harus kita curigai kemungkinan terburuknya. Kita harus sangat seriusi masalah ini,” kata Gaffar.
Gaffar berpendapat, saat ini, skala permasalahan itu terlihat tidak terlalu besar. Meski begitu, Bawaslu dan KPU harus menyikapi hal itu dengan serius. Dikhawatirkan, jika persoalan itu semakin berlarut-larut, kepercayaan publik terhadap lembaga negara bisa menipis.
“Kalau ini dibiarkan, sekecil apapun skalanya tetap berbahaya. Kita tidak harus melihat efeknya. Peristiwa itu terjadi saja sudah berbahaya. Kita harus ambil tindakan yang sangat serius,” tegas Gaffar.