Minim, Minat Petani Jamur untuk Berinovasi Olah Produk
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
TEMANGGUNG, KOMPAS- Petani jamur di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, relatif kurang berinovasi untuk mengolah produk hasil panen jamur. Kebanyakan dari mereka hanya memfokuskan diri untuk memproduksi, dan menjual jamur segar, demi memenuhi permintaan pasar.
“Kami hanya terfokus untuk menggenjot volume panen jamur sebanyak-banyaknya, dan tidak sempat untuk memikirkan kegiatan sampingan lain seperti membuat makanan olahan jamur,” ujar Ardi Nurdiansyah, humas Paguyuban Petani Jamur Sindoro Sumbing Kabupaten Temanggung, Kamis (7/3/2019).
Jumlah petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Sindoro Sumbing mencapai sekitar 60 orang. Dari jumlah tersebut, hanya ada sekitar 15 petani yang sudah melakukan inovasi dengan mengolah jamur menjadi berbagai jenis makanan.
Biasanya, petani hanya akan membuat aneka makanan ketika ada produksi jamur sedang berlebih dan ada sisa yang tidak terserap pasar
Namun, inovasi untuk mengolah jamur itu pun belum bisa berlangsung kontinyu. “Biasanya, petani hanya akan membuat aneka makanan ketika ada produksi jamur sedang berlebih dan ada sisa yang tidak terserap pasar,” ujarnya.
Jumlah jamur yang diolah, menurut dia, juga tidak terlalu banyak. Salah satu petani yang mengolah jamur misalnya, hanya menghasilkan 10 kg keripik jamur per hari.
Ardi mengatakan, para petani jamur yang tergabung dalam Paguyuban Petani Jamur Sindoro Sumbing, memproduksi tiga jenis jamur yaitu jamur tiram, jamur kuping dan jamur Lingzhi. Produksi jamur tiram mencapai 1-3 ton jamur per hari, sedangkan produksi jamur kuping mencapai 1 ton per bulan. Adapun, produksi jamur Lingzhi per tiga bulan mencapai 100 kilogram atau satu kuintal.
Jamur kuping dan tiram adalah jamur yang biasa diolah menjadi campuran sayur, atau diolah menjadi aneka makanan ringan. Khusus untuk jamur lingzhi, diolah untuk menjadi bahan baku obat-obatan herbal. Untuk berbagai kebutuhan tersebut, tiga jenis jamur itu dijual, dikirimkan hingga ke Yogyakarta, Semarang, Tegal, Pemalang, dan ke berbagai kota di Kalimantan dan Bali.
Sodikin, pengurus di bagian riset dan pengembangan Paguyuban Petani Jamur Sindoro Sumbing, juga mengakui bahwa inovasi petani masih rendah.
“Untuk pengiriman ke tempat-tempat yang jauh seperti Kalimantan dan Bali, inovasi yang dilakukan petani barulah sebatas dengan terlebih dahulu mengolah, ataupun memproses, dan kemudian mengirimkan jamur dalam bentuk jamur kering atau bubuk,” ujarnya. Yang biasa dikirimkan dalam bentuk jamur kering ataupun bubuk adalah jamur tiram dan jamur kuping.
Pengolahan jamur menjadi jamur kering atau bubuk ini, dilakukan oleh sebagian petani untuk memenuhi permintaan dari pabrik. Kemampuan untuk memproses itu pun, belum dikuasai oleh seluruh petani.
Banyak petani masih ragu dan kurang percaya diri. Mereka tidak yakin produk olahan jamur bisa menarik minat banyak orang
Sodikin mengatakan, sebagian petani dari Paguyuban Petani Jamur Sindoro Sumbing sudah berhasil membuat 11 jenis makanan, hasil dari olahan jamur. Beragam olahan yang sudah berhasil dibuat itu antara lain adalah bakso, serundeng, abon, dan nugget. Namun, kreatifitas yang sudah dilakukan tersebut belum berhasil menarik minat dari banyak petani.
“Banyak petani masih ragu dan kurang percaya diri. Mereka tidak yakin produk olahan jamur bisa menarik minat banyak orang,” ujarnya.
Namun, seiring dengan perubahan gaya hidup masyarakat yang mulai mengarah ke tren gaya hidup sehat, jamur akan semakin banyak dicari dan diminati. Dari peningkatan permintaan tersebut, diharapkan akan semakin membuat petani bergairah untuk berinovasi, mengolah jamurnya menjadi beraneka ragam makanan.