IDI RAYEUK, KOMPAS – Sebanyak dua individu gajah sumatera liar (Elephas maximus sumatranus) di koridor Aceh Timur, Provinsi Aceh, dipasangi kalung deteksi atau global positioning system collar. Dengan kalung deteksi itu, keberadaan gajah liar dapat terekam secara berkala. Dengan demikian, saat gajah mendekati kawasan permukiman, hewan yang memiliki daya ingat kuat itu bisa segera dihalau.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Sapto Aji Prabowo, Jumat (8/3/2019) mengatakan, pemasangan global positioning system (GPS) collar dilakukan sebagai upaya menekan konflik gajah dengan manusia. Gajah yang dipasangi kalung deteksi adalah individu yang dominan dalam satu kelompok gajah. Dengan demikian kelompoknya juga akan terdeteksi. Alat itu kemudian akan mengirimkan informasi titik keberadaan gajah secara berkala.
Informasi area jelajah akan menjadi bahan kajian penting dalam menyusun manajemen habitat gajah dalam tata ruang wilayah. Apalagi saat ini sebagian besar gajah di Aceh berada di luar wilayah konservasi.
Sejauh ini baru satu individu yang berhasil dipasangi kalung deteksi. Gajah itu berjenis kelamin betina berusia sekitar 30 tahun. Setelah dipasangi kalung, gajah itu dilepaskan kembali ke hutan untuk bergabung dengan gajah yang lain.
"Tim di lapangan masih bekerja untuk mencari satu individu lainnya,” kata Sapto. Tim yang diturunkan beranggota tiga gajak jinak dan 20 personel lapangan.
Adapun jumlah gajah liar yang telah dipasangi kalung deteksi sebanyak enam ekor. Mereka tersebar di Aceh Jaya, Pidie, dan Bener Meriah.
Area menyusut
Sapto menuturkan, area jelajah kelompok gajah di Aceh Timur berada di dalam kawasan hak guna usaha perkebunan sawit. Pembukaan perkebunan sawit telah membuat habitat gajah menyusut. Apalagi gajah memiliki daya ingat yang kuat. Dia akan kembali ke kawasan yang pernah dijelajahi meski belasan tahun kemudian. Ketika pembukaan perkebunan tidak mempertimbangkan habitat gajah maka konflik dengan manusia kerap terjadi.
Konflik itu telah menyebabkan kerugian di kedua pihak. Warga mengalami kerugian karena lahan perkebunan rusak, keselamatan gajah juga terancam. Beberapa kali gajah liar ditemukan tewas di area perkebunan sawit.
Di samping itu perburuan terhadap gajah juga masih marak. Sepanjang 2017 – 2018 jumlah gajah yang mati di Aceh mencapai 24 individu. Kasus kematian paling sadis adalah pembunuhan gajah jinak Bunta di pusat mitigasi satwa di Aceh Timur.
Sepanjang 2017 – 2018 jumlah gajah yang mati di Aceh mencapai 24 individu.
Direktur Pusat Kajian Satwa Liar Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Wahdi Azmi mengatakan pemasangan GPS collar menjadi salah satu solusi untuk menekan konflik satwa. Cara lain yang juga harus diterapkan adalah membuat barrier atau parit pembatas. Saat ini parit pembatas yang sedang dibangun terletak di Aceh Jaya dan Bener Meriah.
Namun sejatinya, lanjut Wahdi, pemanfaatan ruang yang keliru yang menyebabkan tingginya laju konflik satwa. Ruang habitat satwa banyak dialihfungsi menjadi perkebunan sawit dan perkebunan warga. Pola perkebunan yang keliru itu yang memicu konflik satwa.
Koordinator pemantauan Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Fahlevi, mengatakan, gajah termasuk satwa lindung yang paling diburu. Selama Januari-Juni 2018, tim patroli FKL menemukan 497 jerat yang diduga dipasang pemburu untuk menjerat satwa lindung di kawasan Ekosistem Leuser. Jerat berupa baja sling ukuran besar dan kecil. Perangkap burung dan papan yang ditancapi paku untuk menjebak gajah juga ditemukan.