Ketahanan Ekologi Jadi Tantangan Pembentukan Desa Mandiri
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·3 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat tahun ini menargetkan terbentuk 60 desa mandiri dari 2.036 desa yang ada dengan tiga indikator utama, yakni aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Aspek ekologi menjadi tantangan tersendiri dalam pencapaian target itu karena kerusakan lingkungan terjadi secara masif di Kalimantan Barat. Saat ini, Kalbar baru memiliki satu desa mandiri.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar, Nikodemus, Jumat (8/3/2019), mengatakan, daya dukungan lingkungan di Kalbar yang semakin menurun menjadi tantangan Pemprov Kalbar dalam mewujudkan desa mandiri. ”Bencana alam semakin sering terjadi dan meluas. Daerah-daerah yang semula tidak menjadi langganan banjir malah dilanda banjir. Hal ini menjadi pertanda masalah ekologi menjadi tantangan,” ujarnya.
Saat ini, Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas sudah kritis. Dari 10 juta hektar lahan di DAS Kapuas, 2 juta hektar di antaranya dalam kondisi kritis. Kondisi ini berdampak pada 1,7 juta penduduk di kabupaten/kota yang dilintasi Sungai Kapuas.
Air sungai yang awalnya digunakan sebagai sumber air bersih, perikanan, dan transportasi lambat laun tidak dapat diandalkan karena tingginya tingkat pencemaran dan terjadinya pendangkalan.
Bahkan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Perumahan Rakyat Kalbar Adi Yani mengatakan, kualitas air Sungai Kapuas yang melintasi Kabupaten Sanggau, Sekadau, Sintang, Kapuas Hulu, dan Kota Pontianak berada di bawah standar baku mutu. Banyak titik di sepanjang Sungai Kapuas telah tercemar limbah perkebunan dan pertambangan emas ilegal.
Dari 10 juta hektar lahan di DAS Kapuas, 2 juta hektar di antaranya dalam kondisi kritis.
Kualitas air Kapuas masuk pada kelas tiga, yang artinya perlu perlakuan khusus jika ingin dikonsumsi. Jika akan dikonsumsi, air harus melalui proses pemurnian terlebih dulu. Air Sungai Kapuas hingga kini masih dimanfaatkan sebagai air konsumsi masyarakat melalui perusahaan daerah air minum.
Nikodemus menuturkan, DAS Kapuas hancur karena banyaknya aktivitas pertambangan dan perkebunan di dekat DAS, baik oleh perorangan maupun korporasi.
Selain itu, kehancuran hutan karena deforestasi yang dipicu alih fungsi lahan korporasi terus terjadi. Hutan Kalbar yang terdeforestasi pada 2015-2016 sudah mencapai 124.956 hektar (ha). Luas itu terdiri dari luas hutan primer dan sekunder mencapai 124.657 ha dan luas hutan tanaman yang hilang mencapai 299 ha.
Adapun laju deforestasi Kalbar per tahun rata-rata mencapai 42.000 ha. Jika tidak ada langkah konkret untuk memulihkannya, tutupan hutan Kalbar diperkirakan akan habis 20-30 tahun lagi.
Perbaikan aspek ketahanan ekologi itu memerlukan waktu panjang. Sulit menuntaskan masalah itu dalam lima tahun. Itu pun harus didukung dengan langkah pengendalian izin di daerah sekitar DAS dan kawasan penyangga.
Nikodemus mengatakan, masyarakat hendaknya dilibatkan untuk membangun ketahanan ekologi dengan diberi ruang partisipasi membantu pemerintah mewujudkannya. Apalagi, warga selama ini tinggal di sekitar DAS dan hutan.
Gubernur Kalbar Sutarmidji mengatakan, wilayah dengan kerusakan lingkungan yang parah menjadi tantangan tersendiri dalam perbaikan dimensi ketahanan ekologi. Untuk mendukung itu, diperlukan program-program perbaikan DAS dan sekitarnya, seperti mengombinasikan penanaman mangrove dan budidaya kepiting. ”Ini sedang disiapkan pemerintah,” kata Sutarmidji.
Selain itu, lanjutnya, capaian nilai desa mandiri tidak harus 100 persen. Ada 80 persen saja indikator yang terpenuhi sudah bisa masuk kategori desa mandiri.
Oleh sebab itu, pada tahap awal, prioritas pembentukan desa mandiri berada di ibu kota kecamatan. ”Kalau ada 174 desa di ibu kota kecamatan, di situlah yang akan bentuk,” kata Gubernur.