PALU, KOMPAS— Asuransi bencana alam di daerah rawan belum diminati. Padahal, asuransi ini berpotensi melindungi penduduk dari risiko kerugian atau kehilangan harta bendanya.
”Di daerah rawan bencana, minat penduduk memiliki polis asuransi masih minim. Indikasinya terlihat dari sedikitnya klaim asuransi yang dibayarkan,” kata Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia Dody AS Dalimunthe saat dihubungi dari Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (7/3/2019).
Sejumlah wilayah di Indonesia dilanda bencana besar pada 2018. Salah satunya Sulteng yang dilanda gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi pada 28 September 2018. Kerugian akibat bencana di Kota Palu dan Kabupaten Donggala mencapai Rp 10 triliun. Namun, klaim asuransi bencana di kedua kota itu hanya Rp 2 triliun.
Asuransi bencana alam itu meliputi perlindungan dan jaminan terhadap harta benda (rumah dan tempat usaha) dari kehancuran karena gempa bumi, tsunami, longsor, dan bencana lain.
Dody mengatakan, selama ini sisi positifnya ada kecenderungan pertumbuhan asuransi bencana di daerah yang telah dilanda bencana. Hal itu kemungkinan dipicu adanya kesaksian positif sejumlah pemegang polis asuransi bencana yang merasakan manfaatnya.
Rendahnya kesadaran asuransi bencana di daerah yang rawan bencana, menurut dia, menggambarkan problem rendahnya literasi asuransi secara umum. Saat ini, literasi asuransi hanya 3 persen dari produk domestik bruto.
Industri asuransi bersama dengan pemerintah terus mendorong literasi itu, terutama menyasar masyarakat kelas menengah ke bawah, yang merupakan jumlah terbesar penduduk Indonesia, termasuk di daerah bencana.
Asuransi bencana menjadi salah satu pembicaraan penting dalam Pertemuan Tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia di Bali tahun lalu. Asosiasi Asuransi Umum Indonesia juga sangat mendukung pembicaraan dan skema detail asuransi bencana ke depan.
Mitigasi
Secara terpisah, Kepala Otoritas Jasa Keuangan Perwakilan Sulteng Gamal Abdul Kahar juga mendukung industri asuransi memasarkan produk asuransi bencana alam tersebut kepada masyarakat.
”Namanya risiko memang harus dimitigasi. Selama ini masyarakat cenderung ke asuransi jiwa atau kebakaran, sedikit sekali ke asuransi bencana alam. Kami mendukung (dipasarkannya asuransi bencana),” katanya.
Zakarias (45), warga Kelurahan Birobuli Selatan, Kecamatan Palu Selatan, Palu, menyatakan mempertimbangkan untuk mengasuransikan rumahnya. Saat gempa bumi lima bulan lalu, rumahnya rusak ringan.
”Saya baru sadar dengan kerentanan Palu dari gempa. Kita tidak tahu bencana ke depannya. Lebih baik kita mengantisipasi dengan asuransi bencana itu,” katanya. (VDL)