MEDAN, KOMPAS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan diminta mengeluarkan 420 hektar tanah ulayat warga dari hutan produksi yang disiapkan untuk Bendungan Lau Simeme di Kecamatan Sibiru-Biru, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Warga turun-temurun bermukim dan bertani di sana, tetapi tidak mendapat ganti rugi karena masuk hutan produksi.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengeluarkan izin pinjam pakai wilayah itu kepada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Izin itu bisa membuat warga tergusur tanpa ganti rugi apa pun.
”Sebanyak 260 keluarga bermukim dan bertani di rencana lokasi Bendungan Lau Simeme yang meliputi lima desa,” kata Ketua Persatuan Arih Ersada Sembol Ginting saat rapat di Kantor DPRD Sumatera Utara, Senin (11/3/2019).
Rapat yang dipimpin Ketua Komisi A DPRD Sumut Muhri Fauzi Hafiz itu dihadiri warga terdampak di bawah Persatuan Arih Ersada, Ketua Satuan Kerja Pembangunan Bendungan Lau Simeme Balai Wilayah Sungai Sumatera II Marwansyah, Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah I KLHK Rahman Panjaitan, Kepala Bidang Penatagunaan Hutan Dinas Kehutanan Sumut Effendi Pane, serta Kepala Bagian Administrasi Pemerintahan dan Otonomi Daerah Pemkab Deli Serdang Binsar Sitanggang.
Sembol mengatakan, prinsipnya warga lima desa, yakni Desa Rumah Gerat, Sarilaba Jahe, Penen, Mardinding Julu, dan Kuala Dekah, mendukung pembangunan. Namun, mereka meminta hak ulayat diakui dan diberi ganti rugi layak.
Rahman Panjaitan mengatakan, berdasarkan SK Menteri Kehutanan, lokasi pembangunan Bendungan Lau Simeme merupakan kawasan hutan produksi. ”KLHK sudah memberikan izin pinjam pakai kawasan kepada Kementerian PUPR pada 2016,” katanya.
Saat ini, KLHK masih berupaya mengeluarkan desa itu dari hutan produksi. ”Sebab, di lapangan ternyata ada perkampungan dan ladang,” katanya.
Hingga kini, kata Marwansyah, pelaksana proyek pembangunan bendungan, yakni BWS Sumatera II, belum bisa mengeluarkan ganti rugi karena mereka telah dapat izin pinjam pakai dari KLHK. (NSA)