Bencana Alam Perlu Dijelaskan dengan Bahasa Sederhana
Tidak semua ilmuwan bisa menjelaskan fenomena atau bencana alam secara sederhana. Padahal, itu perlu dilakukan agar masyarakat bisa memahami bagaimana sebuah bencana alam terjadi.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Tidak semua ilmuwan bisa menjelaskan fenomena atau bencana alam secara sederhana. Padahal, itu perlu dilakukan agar masyarakat bisa memahami bagaimana sebuah bencana alam itu terjadi. Pemahaman tersebut mampu meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap potensi bencana yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
Adalah Rovicky Dwi Putrohari atau yang akrab disapa ”Pakdhe”, ahli geologi asal Yogyakarta, yang mencoba melakukan hal itu. Ia menulis berbagai fenomena dan bencana alam menggunakan bahasa yang mudah dipahami masyarakat melalui situs geologi.co.id yang dikelolanya sejak 1998. Tulisannya itu sering ia sebut ”dongeng” geologi. Pada 4 Maret 2019, ”pendongeng” geologi itu berpulang.
Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana Wisnu Widjaja mengatakan, permasalahan mendasar dari mitigasi adalah memberitahukan risiko atas suatu fenomena alam. Hal itu kerap kali sulit dicerna masyarakat umum karena hanya dibahas secara rumit oleh para ahli.
”Dalam bencana alam, masalah utama itu mengomunikasikan risiko. Biasanya, pemahaman terhadap bencana alam hanya sampai pada pemikir. Para pemikir merasa telah menyampaikan penjelasannya kepada masyarakat, tetapi mereka tidak sadar apa yang disampaikan itu tidak dipahami oleh masyarakat,” tutur Wisnu.
Hal itu dikemukakan Wisnu dalam diskusi publik bertema ”Belajar Mitigasi Bencana melalui Dongeng ala Pakdhe Rovicky” di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Bantul, DI Yogyakarta, Sabtu (16/3/2019).
Wisnu menyatakan, di daerah rawan bencana seperti Indonesia, informasi yang akurat dan tepat mengenai kebencanaan menjadi penting bagi masyarakat. Kecukupan informasi menyadarkan masyarakat tentang kerawanan bencana sehingga upaya-upaya mitigasi bisa lebih dioptimalkan.
”Dengan informasi yang tepat, kita bisa menyelamatkan warga di daerah rawan bencana. Prinsipnya, mereka sadar akan kerawanan bencana, lalu bisa melakukan berbagai hal yang meminimalisasi risiko dari bencana tersebut,” ujar Wisnu.
Heru Hendrayana, Ketua Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, mengungkapkan, Rovicky memang punya kelebihan dalam hal memudahkan kerumitan ilmu kebumian agar bisa dicerna masyarakat. Tidak banyak ilmuwan yang membagikan ilmu tentang kepakarannya sehingga membuat ilmu tersebut lebih bermanfaat.
”Beliau menarasikan berbagai fenomena alam yang berkaitan dengan ilmu kebumian dalam tutur kata yang mudah dipahami. Itu kelebihannya. Banyak yang pintar, tetapi tidak membuat masyarakat mengerti. Beliau seolah membuat jembatan bagi masyarakat untuk memahami ilmu geologi yang rumit ini,” tutur Heru.
Akurasi dari penjelasan yang diberikan Rovicky melalui tulisan-tulisannya juga tidak perlu diragukan.
Heru menambahkan, pendekatan Rovicky untuk menjelaskan ilmu geologi melalui dongeng juga terasa cocok. Hal itu disebabkan adanya persamaan antara dongeng dan ilmu geologi, yakni sama-sama berbicara tentang masa lalu.
”Geologi selalu membicarakan masa lalu. Apa yang terjadi hari ini kemungkinan pernah terjadi juga di masa lalu. Sama halnya dengan dongeng. Ini kelihatannya yang ditangkap beliau untuk mendongeng dalam bidang keilmuannya,” kata Heru.
Selain itu, Heru menambahkan, akurasi dari penjelasan yang diberikan Rovicky melalui tulisan-tulisannya juga tidak perlu diragukan. Ia menyatakan, Rovicky selalu berdiskusi dengan teman-temannya yang juga merupakan ahli geologi untuk memastikan kebenaran atas hal-hal yang akan disampaikannya.
Sementara itu, Direktur Program Pascasarjana UMY Sri Atmaja mengatakan, yang selama ini dilakukan Rovicky termasuk langkah awal mitigasi. Dengan memahami risiko bencana, masyarakat tahu apa yang harus dilakukannya demi meminimalkan dampak dari bencana tersebut.
”Bencana harus dipahami secara utuh dan menyeluruh dari berbagai perspektif. Setelah memahami bencana secara elaboratif, perlu disusun kerangka penyadaran risiko bencana yang memuat berbagai aspek secara holistik. Setelah itu, penyadaran dilakukan melalui pembelajaran yang terstruktur,” ujar Sri.