Perawat di NTT Mengeluh Kesejahteraan Memprihatinkan
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Perawat di Nusa Tenggara Timur mengeluh soal kesejahteraan hidup sangat memprihatinkan. Sampai saat ini, tenaga honorer swasta masih ada yang berupah Rp 13.000-Rp 500.000 per bulan. Bahkan, ada perawat yang bekerja secara sukarela. Kesejahteraan perawat juga berpengaruh terhadap pelayanan dan sumber daya perawat.
Demikian antara lain hasil seminar keperawatan menyambut HUT Ke-45 Perawat Nasional Indonesia di Sekolah Tinggi Kesehatan (Stikes) Negeri Kupang, di Kupang, Sabtu (16/3/2019). Seminar bertemakan ”Keluarga dan Masyarakat Sehat Bersama Perawat” itu dibuka Kepala Dinas Kesehatan NTT Dominikus Minggu Mere.
Dalam sesi tanya jawab, Yohanes Pio, perawat yang berprofesi sebagai guru di salah satu sekolah perawat di Kota Kupang, mengatakan, perawat merupakan sumber energi di bidang pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan terbanyak adalah perawat, dengan jumlah 15.000 orang di NTT, yang terserap di rumah sakit, puskesmas, dan bidang kesehatan lain oleh pemerintah sebanyak 5.000 perawat, sisa 10.000 perawat belum dapat pekerjaan tetap.
”Jumlah yang belum mendapatkan pekerjaan ini tidak termasuk perawat dengan status PTT (pegawai tidak tetap). Tenaga PTT telah diupah sesuai standar upah minimum daerah. Perawat di sejumlah rumah sakit dan poliklinik swasta diupah hanya Rp 13.000-Rp 500.000 per bulan. Bahkan, ada perawat yang bekerja secara sukarela. Perawat sukarela ini tidak hanya di layanan kesehatan swasta, tetapi juga layanan kesehatan milik pemerintah,” tutur Yohanes.
Achmat Sulaeman, perawat di Puskesmas Pulau Ternate, Kecamatan Alor Besar, Kabupaten Alor, menyebutkan, dari 27 tenaga perawat di puskesmas itu, hanya 1 orang yang berstatus pegawai negeri sipil, sedangkan 5 orang tenaga PTT dan 21 tenaga sukarela. Mereka mengabdi di pulau terdepan, berbatasan dengan Timor Leste.
Mereka rela menjadi tenaga sukarela dengan harapan suatu ketika diangkat menjadi tenaga PTT atau CPNS. Namun, setiap tahun masa perekrutan, nasib mereka tidak diperhatikan. Ada di antara mereka yang sudah lima tahun mengabdi sebagai perawat sukarela.
”Puskesmas itu tidak ada tenaga dokter. Ini puskesmas terpencil dan terjauh. Menjangkau pulau ini menggunakan perahu, menempuh perjalanan sekitar satu jam. Dokter yang ditempatkan di sana pun harus benar-benar mau mengabdi,” ujar Sulaeman.
Tergantung anggaran dan pusat
Kepala Dinas Kesehatan NTT Dominikus Minggu Mere mengatakan, kuota pengangkatan tenaga PTT tergantung dari anggaran pembangunan daerah (APBD), rata-rata setiap tahun sekitar 200 tenaga PTT diangkat untuk memenuhi kebutuhan tenaga keperawatan di 22 kabupaten/kota. Sementara kuota perekrutan CPNS ditentukan dari pemerintah pusat, jumlahnya sekitar 100 orang untuk 22 kabupaten/kota.
Sementara lulusan tenaga keperawatan setiap tahun sekitar 1.500 orang. Tentu masih ada ribuan tenaga perawat yang belum mendapatkan pekerjaan layak sesuai dengan bidang profesi yang dimiliki.
Wakil Ketua Komisi V DPRD NTT Mohammad Ansor mengatakan, gaji yang tidak layak atau tidak sesuai UMP sangat berpengaruh terhadap kinerja dan kualitas pelayanan perawat. Tidak hanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, perawat juga butuh pengembangan diri melalui teknologi informasi saat ini.
”Penyakit baru dan aneh-aneh sekarang makin banyak ditemukan. Perawat harus tahu dan mengikuti perkembangan dunia kesehatan saat ini,” ucap Ansor.
Ia mengatakan, perekrutran tenaga perawat tidak hanya mengandalkan ijazah perawat, tetapi juga surat tanda registrasi (STR). Mendapatkan STR harus mengikuti ujian kompetensi.
Ketua Bidang Organisasi dan Pengaderan Stikes Negeri Kupang Sebastianus Kedang mengatakan, keluhan masyarakat mengenai rendahnya pelayanan perawat di rumah sakit dan puskesmas bisa dimaklumi terkait kesejahteraan tersebut. Tidak sedikit perawat yang berangkat ke rumah sakit atau puskesmas tanpa sarapan.
”Belum lagi kebutuhan pulsa telepon seluler, biaya transportasi, dan masih banyak kebutuhan lain. Kalau perawat itu sudah kerja, banyak orangtua tidak lagi memberi uang, apalagi kalau orangtua petani atau nelayan kecil,” kata Kedang.