MALANG, KOMPAS — Badan usaha milik desa sebaiknya dibangun berdasarkan tradisi masyarakat desa setempat. Sebab, bicara soal bumdes tidak melulu soal uang, tetapi juga tentang kewenangan desa dan pemberdayaan masyarakat.
Hal itu menjadi salah satu poin dalam Bimbingan Teknis Kapasitas Pengelola Usaha BUMDesa, Senin (18/3/2019) di Malang, Jawa Timur. Acara diselenggarakan oleh Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, dengan 40-an peserta.
Kegiatan dibuka oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Pemerintah Provinsi Jawa Timur Mohammad Yasin dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Malang. Acara difasilitasi antara lain oleh Anom Suryaputra, Ketua Umum Jaringan Komunikasi Desa, Syaiful Arief dari Ikatan Pelaku Pemberdayaan Masyarakat Indonesia (IPPMI), dan Iman Suwongso, pegiat desa.
Dalam acara tersebut, peserta diajak mengenali seluk-beluk mengelola bumdes. Mulai dari permodalan bumdes, aset bumdes, hubungan bumdes dengan kewenangan desa, hingga hubungan kerja sama bumdes dengan pemerintah desa.
”Yang harus dipahami adalah bumdes tidak melulu bicara soal uang. Bumdes harus dipahami sebagai bisnis yang berakar pada potensi desa dan berpijak pada tradisi. Jadi, jika bumdes hanya berorientasi pada uang, hal itu sudah menyalahi UU Desa,” kata Anom Suryaputra, fasilitator acara dari Jaringan Komunikasi Desa, Senin (18/3/2019).
Jika bumdes hanya dilihat seberapa besar omsetnya, tanpa melihat dampak ke masyarakatnya, tanpa melibatkan masyarakat, bumdes itu tidak ada bedanya dengan perusahaan swasta semata, dan jauh dari nilai-nilai bumdes sebagaimana diatur dalam UU Desa.
Berpijak pada tradisi menurut Anom adalah adanya sifat seperti kekerabatan, upaya melindungi alam (alam tidak boleh dieksploitasi tanpa adanya upaya pelestarian), dan kolektivitas (semua dilakukan untuk kepentingan bersama).
”Jika bumdes hanya dilihat seberapa besar omsetnya, tanpa melihat dampak ke masyarakatnya, tanpa melibatkan masyarakat, bumdes itu tidak ada bedanya dengan perusahaan swasta semata, dan jauh dari nilai-nilai bumdes sebagaimana diatur dalam UU Desa,” katanya.
Meski begitu, Anom mendorong desa untuk tidak takut membuat bumdes. Melalui pelatihan dan pembelajaran, menurut Anom, bumdes bisa didorong berproses menjadi lebih baik setiap waktu.
”Masyarakat saat ini melihat beberapa bumdes sukses hanya karena omsetnya sudah mencapai miliaran rupiah. Padahal, proses untuk ke sana butuh waktu bertahun-tahun dan tidak mudah. Proses itulah yang harus dilakukan untuk bisa mewujudkan bumdes yang baik,” katanya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Malang Suwadji mendorong agar ke depan bumdes-bumdes bisa saling bekerja sama. Hal itu dinilai akan menjadikan desa-desa bisa memenuhi kebutuhannya sendiri dan tidak tergantung pada produk dari luar.
”Kami mendorong agar bumdes bisa saling bekerja sama. Di Kabupaten Malang sudah dibangun komunitas atau paguyuban bumdes. Paguyuban ini arahnya adalah bisa suplai produk dan berkolaborasi untuk pengembangan desanya masing-masing,” kata Suwadji.
Suwadji mencontohkan, saat ini bumdes wisata kafe sawah di Pujon Kidul, Kabupaten Malang, didorong mendapatkan kopi dari wilayah Dampit.
”Akan lebih baik kopinya dari bumdes lainnya. Ini akan lebih bermanfaat untuk desa, daripada kopinya berasal dari luar,” katanya. Saat ini di Kabupaten Malang sudah ada 233 bumdes.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi Jawa Timur Mohammad Yasin mengingatkan agar bumdes berhasil, dibutuhkan dua hal, yaitu analisis kelayakan usaha dan kepemimpinan.
”Harus diakui masyarakat banyak belum tahu analisis bisnis bumdes sehingga perencanaannya belum maksimal. Ditambah lagi, biasanya tidak semua desa memiliki kepemimpinan yang mendukung,” katanya sembari menambahkan, selama ini, jika kepala desanya memiliki visi bagus dalam membangun bumdes, bumdes akan jadi. Namun, jika sosok kadesnya tidak mendukung, keberadaan bumdes juga tidak akan berhasil.
Harus diakui masyarakat banyak belum tahu analisis bisnis bumdes sehingga perencanaan belum maksimal. Ditambah lagi, biasanya tidak semua desa memiliki kepemimpinan yang mendukung.
Saat ini di Jawa Timur, menurut Yasin, terdapat 1.500 bumdes. Dari jumlah tersebut, hanya 58 bumdes yang masuk kategori maju. Bumdes berkategori maju adalah bumdes yang mampu menghasilkan pendapatan asli desa sebesar Rp 200 juta setahun.