DENPASAR, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Bali pada 2019 ini menggencarkan propaganda tidak membatasi kelahiran di Bali. Tujuan propaganda ini untuk melestarikan budaya penamaan empat nama di Bali, yaitu putu (anak pertama), made (anak kedua), nyoman (anak ketiga), dan ketut (anak keempat).
Munculnya program nasional dua anak cukup dianggap mulai menghilangkan tradisi penamaan anak sebagai salah satu ciri di Bali. Penggunaan nama nyoman dan terutama ketut dikhawatirkan punah. Karena itu, tradisi penamaan ini tetap perlu dipertahankan dengan cara tidak membatasi kelahiran anak di setiap keluarga di Bali.
Sosialisasi mengenai tak perlu membatasi kelahiran, kata Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Bali I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya, bakal digencarkan pada tahun ini secara meluas kepada masyarakat. ”Pemerintah Bali ingin mempertahankan dan melestarikan budaya penamaan anak di Bali yang mulai memudar. Bagaimanapun, penamaan seperti putu, made, nyoman, dan ketut itu tetap dipandang penting,” katanya di Denpasar, Selasa (19/3/2019).
Menurut dia, program tersebut bukan berarti tidak mendukung program nasional keluarga berencana dua anak cukup. Ia menekankan jangan membatasi kelahiran anak di Bali ini bersifat lokal dan demi kepentingan pelestarian budaya.
Pemerintah Bali ingin mempertahankan dan melestarikan budaya penamaan anak di Bali yang mulai memudar. Bagaimanapun, penamaan seperti putu, made, nyoman, dan ketut itu tetap dipandang penting.
Sementara pengajar kajian budaya Unversitas Udayana Ras Amanda justru berharap pemerintah provinsi mempertimbangkan kembali propaganda pengembalian empat nama tersebut dengan tidak perlu membatasi kelahiran. Alasannya, hal tersebut berdampak kepada rendahnya kualitas sumber daya manusia Bali ke depannya.
Bali, menurut dia, tidak perlu mengejar kuantitas karena kualitas manusia menjadi lebih penting untuk dipikirkan masa depannya. Beberapa pertimbangan, lanjut Amanda, seperti bagaimana pendidikan anak jika satu keluarga memiliki empat anak atau lebih, bagimana menjaga kesehatannya, perumahan, yang kesemuanya itu terkait dengan semakin mahalnya biaya hidup.
”Kecuali, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sanggup menanggung investasi pendidikan, kesehatan, hingga penghidupan para keluarga, terutama yang kurang mampu jika sanggup memenuhi harapan memiliki empat anak tersebut dengan memakai nama-nama ciri Bali,” ujar Amanda.
Ni Luh Ariani (26), seorang karyawan swasta yang tinggal di Badung, belum memahami mengapa pemerintah justru membiarkan keluarga memiliki empat anak atau lebih. Ni Luh yang sekarang memiliki satu anak mengaku tak bisa membayangkan bagaimana pendidikan anaknya kelak jika terdapat empat anak. ”Duh, satu anak saja khawatir tidak bisa menyekolahkan dengan maksimal,” keluhnya.
Dalam kesempatan yang berbeda, Gubernur Bali I Wayan Koster tetap perlu mempertahankan budaya penamaan tersebut secara lokalan. Bahkan, ia khawatir dengan andanya penurunan laju pertumbuhan penduduk di Bali.
Menurut dia, hal itu bukanlah sebuah prestasi dan justru mengancam budaya. Ni ”Artinya, yang lahir dengan yang hidup angkanya hampir berimbang. Angka pertumbuhannya relatif kecil,” kata Koster.
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Bali, laju pertumbuhan penduduk Bali menurun dari 2,31 persen pada 2010 menjadi 2,14 persen pada 2017. Selain itu, terjadi pula penurunan angka kelahiran total dari 2,3 per perempuan pada 2012 menjadi 2,1 per perempuan usia subur pada 2018.
Hal tersebut, menurut BKKBN Bali, merupakan dampak penggunaan kontrasepsi. Angka pencapaian penggunaan kontrasepsi mencapai 54,8 persen bagi pasangan usia subur pada 2018.