BANYUWANGI, KOMPAS — Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia bersama sejumlah komunitas memulai digitalisasi manuskrip kuno di Banyuwangi, Jawa Timur. Sedikitnya 22 manuskrip kuno Banyuwangi akan didigitalisasi.
Hal itu terungkap dalam kuliah umum ”Memuliakan Warisan Menuai Pengetahuan” di Universitas PGRI Banyuwangi, Selasa (19/3/2019). Pembicara utama adalah ahli naskah Nusantara dari Universitas Leiden sekaligus peneliti di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Dick van der Meij.
Proses ini menjadi bagian dari pelestarian manuskrip-manuskrip Asia Tenggara. Selain Indonesia, Digital Repository of Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (Dreamsea) juga melakukannya di Laos. Khusus di Indonesia, digitalisasi dilakukan di Aceh, Malang, Palembang, Kuningan, Banyuwangi, Bali, dan Lombok. Hasilnya akan diunggah dan diakses untuk umum di laman Hill Museum and Manuscript Library Minnesota, AS.
Van der Meij mengatakan, digitalisasi lebih dari sekadar melestarikan naskah-naskah itu. Prosesnya akan menjadi bahan kajian dan studi tentang kearifan lokal di dalamnya.
Setiap naskah, kata Van Der Meij, memiliki ajaran, informasi, dan wejangan yang berguna, mulai dari pertanian, kesehatan, hingga mitigasi bencana. Hal itu sangat baik jika diterapkan saat ini dan pada masa datang. ”Informasi tersebut nyaris terlupakan. Dengan digitalisasi, diharapkan ilmu-ilmu tersebut kembali dibaca banyak orang,” katanya.
Di Banyuwangi, Dreamsea bekerja sama dengan sejumlah komunitas, seperti Komunitas Pegon dan Komunitas Mocoan Lontar Yusuf Millenial.
Asisten Akademisi Dreamsea di Banyuwangi Wiwin Indiarti menuturkan, digitalisasi dimulai dari mengumpulkan naskah, membersihkan dari debu, hingga siap didigitalisasi. ”Kami juga mendokumentasikan kisah pemilik naskah. Ada wawancara tentang bagaimana pemilik naskah mendapatkan, menyimpan, merawat, dan membaca naskah kuno itu,” katanya.
Kisah manusia di balik naskah kuno, menurut Wiwin, penting diketahui. Hal itu menjadi bagian bagaimana naskah-naskah kuno tersebut hidup di masyarakat. Wiwin mengatakan, kisah itu akan memperkaya kearifan lokal yang terbentuk lewat naskah kuno.
Pendiri Komunitas Pegon Ayung Notonegoro menyediakan 20 manuskrip. Sebagian besar ditulis dalam aksara pegon dan aksara Arab. Aksara pegon adalah aksara Arab yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan bahasa Nusantara. Semua naskah ditemukan di Banyuwangi.
”Selain Lontar Yusuf (kisah tentang Nabi Yusuf) dan Lontar Ahmad (kisah tentang Nabi Muhammad), kami menyertakan naskah-naskah pesantren. Naskah pesantren merupakan surat-surat pribadi Kiai Saleh sebagai tokoh pergerakan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama,” ujar Ayung.
Menurut Ayung, masih banyak naskah kuno dari Banyuwangi yang bisa didigitalisasi. Namun, beberapa pemilik naskah tak berkenan memberikan. (GER)