Penyakit Stroke, Jantung, dan Diabetes di Riau Melonjak Tajam
Tiga penyakit tidak menular tetapi mematikan, yaitu stroke, jantung, dan diabetes, mengalami peningkatan kasus yang luar biasa di Provinsi Riau dalam kurun 27 tahun terakhir.
Oleh
SYAHNAN RANGKUTI
·3 menit baca
PEKANBARU, KOMPAS – Tiga penyakit tidak menular tetapi mematikan, yaitu stroke, jantung, dan diabetes, mengalami peningkatan kasus yang luar biasa di Provinsi Riau dalam kurun 27 tahun terakhir. Peningkatan terbesar adalah diabetes dengan kenaikan mencapai 358 persen, disusul jantung (241 persen) dan stroke (185 persen).
“Persentase penyakit tidak menular semakin besar di Tanah Air, mencapai 70 persen. Kalau tidak diatasi akan semakin menjadi beban negara. BPJS (badan penyelenggaran jaminan sosial) Kesehatan akan semakin mengeluh. Di Riau, peningkatannya sangat besar karena pola makan dan perilaku yang berubah,” kata Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, saat acara Rapat Kerja Kesehatan Daerah Riau di Pekanbaru, Senin (25/3/2019).
Nila menerangkan, perkembangan penyakit stroke dan diabetes pada periode sama dalam skala nasional juga mengalami kenaikan pesat. Namun, peningkatan secara nasional itu tidak sebesar peningkatan di Riau. Secara nasional, kenaikan penyakit stroke mencapai 93 persen dan diabetes sebesar 57 persen.
Penyakit stroke, jantung, dan diabetes menjadi tiga penyebab kematian utama di Indonesia sampai saat ini. Penyakit tuberkulosis (TBC) yang pada awal tahun 1990-an masih menjadi penyakit kedua paling mematikan, sekarang menempati posisi ke-4 di bawah diabetes.
Sayangnya, kata Nila, kesadaran warga terhadap penyakit tidak menular ini masih sangat kecil. Misalnya, hanya sepertiga penderita hipertensi yang ditemukan atau dua pertiga lainnya masih belum diketahui/mengetahui. Adapun dari penderita yang sudah mengetahui penyakitnya, hanya sepertiganya yang patuh meminum obat.
Kepala Dinas Kesehatan Riau Mimi Yuliani Nasir mengungkapkan, selama tiga dasawarsa terakhir, Riau memang mengalami lonjakan besar dalam perekonomian dan taraf hidup warganya. Perkembangan itu ikut mengubah pola hidup dan pola makan warga.
“Perubahan pola hidup, misalnya, semakin banyak orang yang begadang atau kurang tidur, yang berarti kurang beristirahat. Kebiasaan buruk merokok masih sangat tinggi, tapi sebaliknya olahraga fisik sangat kurang. Selain itu, banyak warga yang belum merasa perlu memeriksaan kesehatannya secara teratur,” kata Mimi.
Di sisi lain, kata Mimi, pola makan juga sangat memengaruhi. Warga Riau memiliki menu andalan yang terbuat dari paduan bahan berlemak dan menggunakan santan kental. Hal itu tidak terlepas dari akar budaya Riau, yaitu Melayu dan Minang, yang akrab dengan masakan gulai, rendang, lemak, dan bahan-bahan jeroan.
“Pola makan berlemak itu semakin diperparah dengan semakin banyaknya makanan instan, junk food. Warga kita juga semakin gampang memperoleh makanan yang dipesan secara daring yang belum dapat dipercaya kandungan gizinya. Di sisi lain, warga kurang mengonsumsi buah dan sayuran,” kata Mimi.
Data kesehatan Riau dari Riset Kesehatan Dasar 2018 menyebutkan, prevalensi (jumlah orang dalam populasi yang mengalami penyakit) hipertensi berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk di atas 18 tahun mencapai 13,3 persen. Kabupaten Bengkalis menjadi yang terbesar dengan angka 18,3 persen dan paling rendah Kabupaten Pelalawan, yakni 9 persen.
Adapun persentase prevalensi untuk penderita diabetes pada penduduk di Riau rentang usia 15 tahun ke atas mencapai 1,29 persen. Kota Pekanbaru dan Bengkalis menjadi daerah terbesar penderita penyakit ini dengan angka masing-masing dua persen.
Tentang minimnya kegiatan fisik, seperti diungkap Mimi, hal tersebut tergambar dari data proporsi kurangnya aktivitas fisik warga Riau (pada penduduk di atas 10 tahun) yang mencapai 32,7 persen. Artinya, sepertiga penduduk kurang melakukan aktivitas fisik atau menggerakkan badan di bawah 150 menit per minggu. Bahkan, berdasarkan data tersebut, warga Rokan Hulu dan Rokan Hilir hampir setengahnya kurang aktif secara fisik.