SEMARANG, KOMPAS— Realitas sosial perlu menjadi salah satu pertimbangan dalam memahami teks keagamaan. Termasuk isu mengenai jender, apakah kaum perempuan berhak mendapat perlakuan dan kedudukan sama dengan laki-laki.
KH Husein Muhammad (65) mengemukakan hal itu dalam orasi ilmiah ”Gender dalam Pendekatan Tafsir Maqashidi” pada penganugerahan doktor kehormatan (honoris causa) oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (26/3/2019).
Mengutip pandangan Nasr Hamid Abu-Zayd, pemikir Islam kontemporer yang mengkritik pandangan konservatif, Husein menyatakan, pengabaian realitas karena mempertimbangkan teks yang statis dan konservatif hanya akan menjadikan teks sebagai catatan sejarah.
Menurut dia, pemahaman atas teks Al Quran atau teks-teks keagamaan lain seharusnya lebih ditekankan pada aspek logika dan maksud dari teks tersebut. Tidak semata-mata bunyi literalnya.
”Realitas sosial dan kenyataan empiris seharusnya jadi sumber pertimbangan dalam penafsiran. Selain dipikirkan dan dikaji logikanya, teks keagamaan harus didialogkan dengan fakta-fakta empiris yang sedang terjadi,” ujarnya.
Husein menuturkan, ada dua aliran besar pemikiran para ahli Islam dalam merespons isu-isu jender. Pertama, berpendapat hubungan perempuan dengan laki-laki adalah subordinat, sedangkan pendapat kedua memosisikan setara.
”Dua aliran besar ini mengajukan argumen keagamaan dari sumber sama, Al Qurāan dan hadit Nabi. Dua sumber itu paling otoritatif dalam sistem keagamaan Muslimin,” katanya.
Perbedaan pandangan ulama Islam dalam menyikapi isu jender dan ketimpangan relasi sosial lain terjadi akibat perbedaan cara memahami teks. Dalam tradisi Islam, ada dua cara memahami teks, yakni tafsīir dan takwiīl. ”Tafsir berkaitan dengan riwayah, informasi, nukilan, atau sumber berita. Sementara takwil berkaitan dengan pemahaman substansi,” jelasnya.
Husein menuturkan, perempuan dalam konteks peradaban patriarki kerap menjadi sasaran, misalnya terkait pengaturan tubuh. ”Perempuan adalah makhluk yang memiliki kehormatan dan perlu diperlakukan adil. Kedudukan laki-laki dan perempuan sama dan setara,” ujarnya.
Tafsir maqashidi dalam relasi jender didasarkan pada cara pandang yang memanusiakan laki-laki dan perempuan. Seluruh produk tafsir terkait relasi laki-laki dan perempuan harus diarahkan untuk menumbuhkan kerja sama demi terciptanya segala kebaikan dan terhindarnya segala keburukan.
KH Husein Muhammad lahir di Cirebon, 9 Mei 1953. Ia cucu dari KH Syatori, pendiri pondok pesantren yang diasuhnya kini, Dar Al-Tauhid Arjawinangun. Husein merupakan salah satu pendiri Yayasan Puan Amal Hayati, Yayasan Rahima Jakarta, dan Fahmina Institute Cirebon.
Sejumlah karya tulis Husein dalam bentuk buku adalah Fiqh Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (2001), Islam Agama Ramah Perempuan, Pembelaan Kiai Pesantren (2005), dan Spiritualitas Kemanusiaan, Perspektif Islam Pesantren (2005).
Salah satu promotor, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar, menuturkan, KH Husein memberi inspirasi bagi dunia akademik dalam menjaga keistikamahan antara tradisi daras dan ta’lif, belajar dan menulis. (DIT)