NAMLEA, KOMPAS — Setelah penutupan tambang emas liar di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, pemerintah mewacanakan lokasi itu dikelola korporasi dari anak perusahaan badan usaha milik negara.
Sejalan dengan itu, pemerhati lingkungan mengingatkan agar pemulihan kawasan tercemar merkuri secepatnya ditangani. Kawasan itu setidaknya rusak delapan tahun terakhir.
”Lingkungan Gunung Botak yang tercemar merkuri tak bisa diabaikan,” kata pengamat lingkungan Universitas Pattimura (Unpatti), Ambon, Stevin Melay, di Ambon, Rabu (27/3/2019).
Gunung Botak dirambah pada Oktober 2011 dengan jumlah petambang melampaui 20.000 orang. Mereka mengolah emas dengan merkuri di sungai, pekarangan rumah, dan persawahan. Tidak terkira volume merkuri yang dibuang ke alam.
Berdasarkan penelitian Yusthinus T Male, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unpatti, yang dirilis November 2015, pencemaran merkuri sudah parah. Sampel rambut warga sekitar lokasi memperlihatkan kadar merkuri 18 miligram (mg) per 1 kilogram (kg) sampel atau lebih tinggi 36 kali dari standar minimum.
Konsentrasi merkuri pada udang di atas tiga kali lipat dari standar, ikan tujuh kali, kerang enam kali, dan kepiting dua kali. Standar minimal konsentrasinya 0,5 mg per 1 kg sampel. Wilayah Gunung Botak salah satu sumber pangan Maluku.
Selasa lalu, Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa bersama pejabat lintas kementerian dan lembaga meninjau Gunung Botak. Polisi siap menjaga lokasi itu sampai ada upaya jelas pemerintah.
Tambang itu ditutup Royke yang menjabat sejak Agustus 2018. Lebih dari 30 kali penutupan tambang selalu gagal karena aparat terlibat.