Larangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi yang diberlakukan pemerintah sejak 2011 lalu memicu perdagangan rotan ke luar negeri secara ilegal. Pada 2017-2018, setidaknya ada 22 kasus penyelundupan rotan ke luar negeri yang digagalkan petugas bea cukai di beberapa wilayah Indonesia dengan taksiran nilai mencapai Rp 25,3 miliar.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Larangan ekspor rotan mentah dan setengah jadi yang diberlakukan pemerintah sejak 2011 dituding ikut memicu perdagangan rotan ke luar negeri secara ilegal. Pada 2017-2018, setidaknya ada 22 kasus penyelundupan rotan ke luar negeri yang digagalkan petugas bea cukai di beberapa wilayah Indonesia. Nilai ekonominya ditaksir Rp 25,3 miliar.
Sebagian rotan yang diseludupkan itu diduga berasal dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, daerah penghasil rotan. Penangkapan pelaku penyelundupan umumnya dilakukan petugas bea cukai di daerah perbatasan.
Kepala Bidang Kepatuhan Internal di Kantor Wilayah Bea Cukai Kalimantan Bagian Selatan Abdul Rasyid mengatakan, penyelundupan rotan ke luar negeri yang berhasil ditangkap mungkin hanya sebagian kecil dari jumlah yang lolos.
”Yang lolos bisa saja lima atau 10 kali lipat dari jumlah yang tertangkap. Wilayah Indonesia begitu luas. Begitu banyak pintu keluar di wilayah Indonesia yang bisa menjadi pelabuhan rakyat,” ujar Rasyid di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Jumat (29/3/2019).
Menurut Rasyid, penjualan rotan ke luar negeri sulit dicegah karena permintaannya cukup tinggi. Harga jualnya bisa 3-4 kali lipat dari harga jual dalam negeri. Di sisi lain, penyerapan rotan di dalam negeri masih rendah, sekitar 30 persen dari total produksi rotan di Kalsel dan Kalteng.
”Melihat kondisi itu, kami mendukung relaksasi kebijakan ekspor rotan. Ancaman dari penyelundupan rotan harus dijadikan peluang sebab potensinya sangat besar. Di samping dapat meningkatkan perekonomian masyarakat, juga dapat meningkatkan penerimaan negara,” tuturnya.
Sudah hampir satu dekade pemerintah melarang ekspor rotan mentah dan setengah jadi. Meskipun Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35 Tahun 2011 tentang Ketentuan Ekspor Rotan dan Produk Rotan sudah dicabut pada 2017, ekspor rotan masih terkendala Permendag Nomor 44 Tahun 2012 tentang Barang Dilarang Ekspor.
Dikendalikan
Rasyid mengatakan, pemerintah harus hadir mengendalikan perdagangan rotan. Kementerian Keuangan, dalam hal ini bea cukai, juga akan hadir untuk memberikan asistensi dan fasilitasi dalam bentuk pusat logistik berikat.
”Di Riau, misalnya, ada bursa komoditas ekspor timah untuk mengatasi penyelundupan timah ke luar negeri. Kenapa tidak di Kalsel dan Kalteng dibangun bursa komoditas ekspor rotan untuk mengatasi penyelundupan rotan? Dengan begitu, pemerintah bisa mengendalikannya,” ujarnya.
Penjualan rotan ke luar negeri secara ilegal selama ini membuat negara tidak menerima apa-apa. Karena itu, pihaknya berupaya menumbuhkan perdagangan dan industri untuk membangun perekonomian di suatu daerah.
”Tugas dan fungsi kami bukan hanya memproteksi keluar dan masuknya barang illegal hingga memungut penerimaan negara dari bea masuk dan bea keluar, tetapi juga asistensi dan fasilitasi untuk dunia perdagangan dan industri sehingga tumbuh wajib pajak baru,” katanya.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Perkumpulan Petani, Pedagang, dan Industri Rotan Kalimantan Muhammad Irwan Riadi tidak memungkiri penutupan keran ekspor rotan dimanfaatkan oknum untuk menyelundupkan rotan ke luar negeri. Perbuatan itu tentu saja merugikan negara.
”Karena itu, kami mendorong keran ekspor dibuka kembali agar betul-betul bisa dikontrol. Dengan begitu, petani, pedagang, dan industri rotan. Negara juga untung,” katanya.
Menurut Irwan, ekspor rotan ke depan harus dilakukan di Kalimantan sehingga bisa lebih terkontrol. ”Kami juga tidak bermaksud ekspor besar-besaran. Kami pastikan kebutuhan dalam negeri terpenuhi dulu. Rotan yang tidak terserap pasar dalam negeri baru diekspor,” ujarnya.