Keindahan alam Raja Ampat adalah sihir semesta tak ternilai. Pariwisata menjadi mesin utama pembangkit mesin ekonomi kabupaten pemekaran tahun 2003 itu. Tak pelak, titik kesetimbangan ekonomi dan konservasi mutlak harus dijaga.
Kedua aspek itu, berikut sumber daya manusianya, tak bisa dipisah. Alam terjaga berarti memastikan keberlanjutan ekonomi daerah. Sebaliknya, jika rusak, mesin ekonomi itu dalam bahaya.
Masyarakat kunci pentingnya. Namun, menjaga lingkungan bukan hanya pada masyarakat lokal. Booming wisata juga berisiko bagi lingkungan jika tak dikelola baik dan mengabaikan daya dukung lingkungan.
Terkait itu, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Raja Ampat Yusdi Lamatenggo mengatakan, ekowisata jadi konsep utama pengembangan pariwisata Raja Ampat. Apalagi, Raja Ampat telah ditetapkan sebagai taman bumi (geopark) nasional pada 20 November 2017.
”Geopark menjadi alat bagi daerah untuk membangun secara berkelanjutan. Hal ini mensyaratkan keseimbangan antara konservasi dan ekonomi masyarakat,” katanya.
Sumbangan sektor pariwisata pada perekonomian kabupaten itu besar. Sekitar 90 persen produk domestik regional bruto (PDRB) Raja Ampat dari sektor wisata.
Jumlah kunjungan wisatawan di Raja Ampat tahun 2017 sekitar 35.000. Berdasarkan penghitungan Pemkab Raja Ampat, daya dukung lingkungan bisa menerima hingga 100.000 kunjungan per tahun.
Karena itu, ruang pengembangan wisata masih terbuka lebar. Yusdi mengatakan, salah satunya wisata daratan yang belum menggeliat. Pemkab bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) intensif menggarap wisata darat, di antaranya pengamatan burung.
Hal itu juga demi pemerataan ”kue” wisata. Selama ini, sekitar 80 persen kunjungan terpusat di wilayah utara (Waigeo) dan tengah (Batanta). ”Daerah di selatan, seperti Kofiau dan Misool, akan dikembangkan bertahap, termasuk menyiapkan infrastrukturnya,” kata Yusdi.
Menyentuh masyarakat
Sejumlah pihak digandeng pemkab, di antaranya lembaga konservasi yang mendampingi masyarakat Raja Ampat. Salah satunya The Nature Conservancy (TNC) yang menginisiasi sejumlah program di selatan Raja Ampat sejak 2003.
Setelah menyentuh berbagai sisi terkait pemulihan lingkungan dan penyadaran masyarakat, kini TNC fokus pemberdayaan agar masyarakat menikmati hasil konservasi. Sektor wisata dan pengolahan hasil laut disasar.
Kini, masyarakat menikmati hasil laut melimpah yang mulai diolah agar bernilai tambah. Di Kofiau, TNC menginisiasi kelompok warga, termasuk kaum ibu, untuk mengolah hasil laut menjadi abon ikan, sambal ikan, dan ikan asin kemasan. Hal serupa juga di Misool.
Bird’s Head Portfolio Manager TNC Lukas Rumetna mengatakan, pemberdayaan ekonomi masyarakat dari hasil laut dilakukan sejak 2012. Produk olahan hasil laut bisa menjadi oleh-oleh wisatawan.
”Rencana pemasaran di Kota Sorong dan Waisai (ibu kota Raja Ampat). Pemda akan mendirikan pusat oleh-oleh di sana,” ujar Awaludinnoer Ahmad, Conservation Science Coordinator TNC Raja Ampat.
Terkait sisi wisata langsung, warga diberdayakan dengan membentuk kelompok wisata berbasis ekologi. Di Kofiau, kelompok itu memetakan potensi wisata, manajemen, hingga menyiapkan keterampilan pemandu.
Menurut Kepala Distrik Kofiau Nikanor Ambrauni, saat ini kunjungan wisatawan ada, tetapi tidak rutin. Demi menunjang pariwisata, saat ini ditata permukiman penduduk agar bersih dan pengunjung nyaman.
Upaya menjaga kesetimbangan alam dan manusia berakar panjang di Kofiau. Tokoh adat Kofiau, Elia Ambrauw (71), menyebut pesan leluhur ”Mko jaka tupine ntama mko we sanan. Kofur tatar ido komar”.
Artinya, kalau kita menjaga alam, kita akan bahagia. ”Tetapi, kalau kita merusak alam, kita akan dihukum,” ujar Elia. Nah.... (ENG)