Bagaimana “Pengantin” Bom Bercerita
Suatu malam di salah satu rumah di Surabaya, Jawa Timur. Seorang pemuda bernama Irfan (Kun Baehaqi Almas) sedang terbaring dan melamun. Namun, angan-angan buyar ketika terdengar pintu rumah yang dihuni pasangan muda Baron (Antonius Budi Prasetyo) dan Rona (Amanda Soeleiman) itu diketuk. Yang datang adalah Abi Mujahid (M Zafrullah Khan).
Baron dan Rona memberi hormat dengan mencium tangan sang “pendoktrin”. Namun, Abi seakan melengos saat Irfan coba menghormat.
“Ini siapa?,” tanya Abi.
“Pengantin baru, Bi,” jawab Baron.
Selanjutnya, mereka berdiskusi untuk pelaksanaan teror bom.
“Jam 6.30 dan 7.53 adalah waktu yang pas dan saat para thogut-thogut berkumpul. Kue terakhir akan jadi penutup yang indah,” kata Rona.
“Bagaimana dengan orang-orang yang tidak bersalah?,” tanya Irfan
“Tidak bersalah?,” kata Abi membalas.
“Jadi apa aku sekarang, Bi? Bapak ibuku enggak akan mati karena bom. Tapi mereka bakal mati karena malu," kata Irfan.
Pada akhirnya, teror bom jadi mereka wujudkan. Setelah memeluk dan berpamitan dengan Abi, Baron dan Rona berangkat terlebih dahulu dan berboncengan naik sepeda motor. Irfan sudah memakai rompi bom berangkat belakangan.
Jadi apa aku sekarang, Bi? Bapak ibuku enggak akan mati karena bom. Tapi mereka bakal mati karena malu
Namun, sebelum pergi, Irfan teringat sentuhan-sentuhan kemanusiaan yang sempat didapatnya. Ada seorang anak pemulung berkaos merah dan bertuliskan INDONESIA memungut dan menyerahkan koran Irfan yang terjatuh akibat melamun. Irfan teringat menelepon Kepolisian Sektor Rungkut tetapi segera mematikannya saat panggilan direspon petugas di sana.
Selain itu, Irfan sempat menelepon keluarga dan ada kabar bahwa ibunda sakit tiga hari. Sang pemuda juga sempat menemui Annisa (Nahdah Sabrina) yang mungkin adalah kekasih hati. Annisa cemas, bingung, sebab Irfan lama tidak diketahui keberadaannya. Irfan terlibat situasi angguk geleng tentang hidup mati orang-orang.
Baron dan Rona tetap melanjutkan aksi meledakkan diri. Namun, di rumah pasangan itu, Irfan batal berangkat dan malah mengunci pintu sehingga membuat Abi terkejut dan curiga. Tidak disangka, Irfan mengaktifkan bom seakan ingin mengajak Abi tewas bersama. Irfan meledakkan diri sebelum sempat dicegah oleh Abi. Mungkin mereka semua tewas sebab gambar berlanjut dengan cuplikan video berita tentang teror bom di Surabaya pada 13-14 Mei 2018.
Terorisme
Itulah ringkasan film pendek berjudul How To Tell yang disutradari oleh Abra Merdeka. Inilah film pertama produksi swadaya Lintas Sinema Surabaya yang merupakan kumpulan sineas rumah produksi antara lain jurnalis, produser, editor, juru foto, dan juru video. Film ditayangkan ke publik untuk pertama kali dalam dua sesi terbatas di XXI Ciputra World Surabaya, Sabtu (30/3/2019) malam.
Di bioskop pusat belanja di tepi Jalan Mayjen Sungkono itu, film diputar secara cuma-cuma untuk penonton yang mendaftar terlebih dahulu. Pemutaran turut dihadiri oleh Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya Komisaris Besar Rudi Setiawan, Komandan Komando Resor Militer 084/Bhaskara Jaya Kolonel (Inf) Sudaryanto, dan pengamat terorisme Nasir Abbas.
Secara umum, How To Tell menarik meskipun tema lewat hampir setahun lalu. Film memang berdasarkan peristiwa teror bom di Surabaya. Namun, tidak menceritakan tentang pelaku teror bom yang seperti sudah diberitakan melibatkan sejumlah keluarga. Jika boleh mengkritik, kekurangan ini film ini adalah pemilihan judul yang keinggris-inggrisan dan durasi yang kurang dari 16 menit sehingga penceritaan menjadi tidak utuh.
Namun, boleh jadi pemilihan judul dalam bahasa Inggris sebagai salah satu taktik agar film bisa diikutsertakan dalam berbagai festival di luar negeri. Karya ini masuk dalam official selection short film 14th IFF Australia dan masuk official pre-selection Festival De Cannes 2019. Film ini menurut rencana akan diputar secara terbatas dalam forum akademik atau diskusi serta diikutkan dalam sejumlah festival di mancanegara.
Dari perbincangan antara penulis dan sutradara, co-sutradara, produser, dan co-produser, Minggu (31/3), di Surabaya, film memang dibuat pendek meski awalnya dirancang sebagai karya yang panjang.
Namun, karena keterbatasan dana tetapi mereka ingin berkarya sehingga diputuskan produksi tetap jalan. Mereka menyeleksi 100 orang dan memilih 6 orang di antaranya sebagai pemain. Syuting berlangsung tiga hari dengan lokasi seluruhnya di Surabaya.
“Kami sebagai Arek Suroboyo ada semacam dendam karena kejadian teror setahun lalu. Kami melampiaskannya secara positif dengan berkarya,” ujar Abra yang juga menulis skenarionya.
Film mencoba pendekatan lain yakni fokus pada pelaku. Ada konflik internal dalam diri seorang pelaku. Inilah yang coba dibangun secara padat oleh Abra yang mengaku terinspirasi setelah melihat video rekaman wawancara dengan pelaku teror bom Imam Samudra dan Amrozi pada 2008 saat masih bekerja di Jakarta. Sedasawarsa kemudian, teror terjadi di Surabaya dan mengusik batin Abra sehingga mendorong dirinya berkumpul dengan kalangan sineas lalu sepakat membuat karya.
Kami sebagai Arek Suroboyo ada semacam dendam karena kejadian teror setahun lalu. Kami melampiaskannya secara positif dengan berkarya
Dani Satria, produser, menambahkan, film bertujuan melawan terorisme. Tidak heran mereka mencantumkan tanda pagar promosi dengan #terorisjancok, tagar yang populer dan “meneror” media sosial ketika teror bom Surabaya terjadi. Terorisme tidak akan pernah menang melawan kemanusiaan apalagi membuat gentar Arek Suroboyo. Dua hari berturut-turut diteror bom, Surabaya tetap mampu bangkit dan tidak menyerah.
“Mari bangkitkan kembali rasa peduli sesama atau toleransi,” kata Dani. Terorisme akan muncul dalam kondisi masyarakat yang saling abai, cuek, tidak peduli. Jangan sampai kita tidak tahu bahwa tetangga misalnya ternyata menjadi perakit bom dan pelaku teror. Sadarkanlah jika tetangga, sobat, bahkan kerabat menjadi radikal dan membenci umat manusia yang tidak sejalan dengan diri mereka.
Seusai menonton pemutaran film itu, Rudi Setiawan mengakui sempat khawatir. Bahkan, sempat ada reaksi keras dari kelompok tertentu mengingat isu yang dipertontonkan amat sensitif. Namun, How To Tell sudah lolos Badan Sensor Film sehingga bisa diterima oleh publik. “Ternyata film ini cukup bagus dan membuat bangga sebab karya anak-anak Surabaya dengan ide yang kreatif,” katanya.
Pekerjaan masih jauh dari selesai. Misi selanjutnya Lintas Sinema Surabaya ialah menawarkan karya tadi untuk diapresiasi lebih luas oleh publik. Boleh jadi, kendala dan tantangan akan kembali muncul. Namun, How To Tell sepatutnya dipandang sebagai karya yang dengan kelebihan dan kekurangan tentu akan mendapat apresiasi beragam. Bagi penulis, amat menarik jika mereka menjawab tantangan dengan membuat versi film panjang.