Hutan adat di Kalimantan Tengah perlu segera dibentuk. Konflik lahan semakin bertambah di kawasan kelola adat masyarakat. Di Janah Jari, Kecamatan Awang, Kabupaten Barito Timur, sedikitnya 220 hektar lahan kelola adat digarap perusahaan perkebunan sawit.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
TAMIANG LAYANG, KOMPAS – Hutan adat di Kalimantan Tengah perlu segera dibentuk. Konflik lahan semakin bertambah di kawasan kelola adat masyarakat. Di Janah Jari, Kecamatan Awang, Kabupaten Barito Timur, sedikitnya 220 hektar lahan kelola adat digarap perusahaan perkebunan sawit.
Komunitas Adat Dayak Ma’anyan Janah Jari di Barito Timur menyesalkan tindakan perusahaan perkebunan sawit di sekitar desa mereka yang menggarap wilayah kelola adat mereka. Padahal, menurut mereka pada saat pertemuan sudah disepakati wilayah adat tidak boleh digarap.
Permasalahannya, di Kalteng sendiri pun tidak ada satu pun wilayah hutan adat melalui skema perhutanan sosial yang sudah dibentuk. Dari data Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng, dari target 2018 seluas 1,5 juta hektar perhutanan sosial, belum ada satu pun hutan adat yang disahkan.
“Di sini tempat kami berburu dan melaksanakan kegiatan adat. Sekarang sudah ditumbuhi sawit. Pada awalnya kami tidak menolak perkebunan tetapi ada kesepakatan, ternyata dilanggar juga,” ungkap Markus (40), warga Desa Janah Jari, Kamis (4/4/2019).
Di sini tempat kami berburu dan melaksanakan kegiatan adat. Sekarang sudah ditumbuhi sawit. Pada awalnya kami tidak menolak perkebunan tetapi ada kesepakatan, ternyata dilanggar juga
Markus juga menyayangkan sikap tetua adat yang mendukung tanah adat menjadi perkebunan sawit. Perjuangan mereka mempertahankan hutan adatnya pun seakan tak mendapatkan jalan. “Kami sudah lapor ke sana kemari tetapi tidak ada tindak lanjutnya,” kata Markus.
Selain di Janah Jari, Komunitas Laman Kinipan yang selama ini berjuang mempertahankan 16.164 hektar hutan adat yang sudah didaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA). Namun, seluas 3.000 hektar sudah digarap perkebunan sawit.
Ketua Komunitas Adat Laman Kinipan Effendi Buhing mengungkapkan, perusahaan pernah melakukan sosialisasi ke desa mereka. dalam sosialisasi tersebut perusahaan meminta ijin untuk beroperasi namun masyarakat menolak.
“Penolakan karena hutan adalah kehidupan. Kami meramu, mengambil bahan makanan, berburu, dan mencari rezeki di hutan dan kebun kami,” kata Effendi.
Efendi menambahkan, pihaknya menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan melupakan masyarakat adat. Padahal, menurutnya, masyarakat adat lebih dulu ada dibanding negara.
Direktur Justice, Peace, and Integreted Creation (JPIC) Kalteng Frans Sani Lake, SVD mengungkapkan, bagi masyarakat Dayak hutan dan alam merupakan bagian paling luhur dari kebudayaan. Tanpa sungai, hutan, dan unsur alam lainnya kebudayaan juga terancam.
“Selain itu konflik sosial semakin tinggi. Pemerintah perlu membuka mata dan menyadari hal ini,” kata Frans.
Dari data Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, jumlah konflik dan gangguan usaha di perkebunan mencapai 68 kasus di tahun 2018, jumlah yang sama juga ditunjukkan di tahun 2017 meningkat sedikit lebih banyak dibanding tahun 2016 sebanyak 61 kasus. Kabupaten Kotawringin Timur adalah kabupaten paling banyak konflik perkebunan mencapai 28 kasus.
Koordinasi
Kepala Bidang Penyuluhan, Pemberdayaan Masyarakat, dan Hutan Adat Dinas Kehutanan Provinsi Kalteng Ikhtisan mengungkapkan, salah satu kendala yang dihadapi pihaknya saat mensosialisasikan skema perhutanan sosial adalah koordinasi antara pemerintah kabupaten dengan provinsi. Menurutnya pemerintah kabupaten belum banyak proses pengakuan hutan adat melalui skema perhutanan sosial.
“Kami siap memfasilitasi proses pembentukan hutan adat kalau masyarakat hukum adat sudah terbentuk. Masyarakat hukum adat itu ada kalau panitia hukum adat juga adat, prosesnya memag begitu. Ini yang kami sosialisasikan ke kabupaten, tetapi kembali ke komitmen masing-masing daerah,” ungkap Ikhtisan.
Kami siap memfasilitasi proses pembentukan hutan adat kalau masyarakat hukum adat sudah terbentuk. Masyarakat hukum adat itu ada kalau panitia hukum adat juga adat, prosesnya memang begitu. Ini yang kami sosialisasikan ke kabupaten, tetapi kembali ke komitmen masing-masing daerah
Ikhtisan menambahkan, sampai saat ini baru di Kabupaten Murung Raya yang sudah memiliki panitia hukum adat. Panitia tersebut merupakan jalan utama untuk pembentukan hutan adat dan pengakuan komunitas adat. “Ketika perhutanan sosial itu dibentuk, masyarakat memiliki hak untuk mengelola dan tidak bisa diganggu gugat,” ujarnya.