Memupus Stigma Kampung Narkoba
Bertahun-tahun dikenal sebagai sarang narkoba, Danau Sipin di Kota Jambi mulai berbenah. Wajah suram kampung itu perlahan dipupus. Rintisan batik wisata pun menjadi ikon baru.
Kediaman Tina (41) hampir tak pernah lagi sepi. Pagi hingga sore, kaum remaja dan ibu rumah tangga berkumpul. Beranda rumah itu dijadikan bengkel produksi batik, mulai dari pembuatan pola, pelukisan, hingga proses pewarnaan berlangsung di sana.
Setelah satu pekan lamanya digembleng dua intsruktur batik asal Pekalongan, Jawa Tengah, para perajin akhirnya menampilkan hasil karya mereka dalam Festival Batik Bersinar pada Jumat (29/3/2019). Selain menampilkan ragam batik, festival itu juga menyelipkan diskusi edukatif seputar mencegah masuknya nakorba bagi masyarakat setempat. Kegiatan itu diharapkan semakin membuka kesadaran akan berbahayanya dampak penggunaan obat-obatan terlarang itu.
Sebelumnya, para perajin yang tergabung dalam Kelompok Batik Sipin Jajaran telah dibanjiri pesanan hingga 50 lembar kain batik tulis dengan teknik pewarnaan alam. Harganya bernilai Rp 1,9 juta per kain. Dari hasil pesanan itu terkumpul sebesar Rp 95 juta. Sebagian besar telah dimanfaatkan sebagai modal awal usaha kelompok. Sisanya dimanfaatkan untuk membekali perajin muda menebus ijazah SMP-nya.
Batik sebenarnya bukan barang baru di kampung itu. Jauh sebelumnya, sejumlah warga pernah mendapat pelatihan membatik dari pemerintah daerah setempat. Namun, usaha kerajinan itu tak berjalan lancar. Para perajin tak punya cukup modal untuk membangun usahanya.
Pernah mereka mencoba mengajukan bantuan pinjaman permodalan kepada perbankan. Namun, bukan perkara mudah untuk memperolehnya. Sebab, stigma kampung narkoba telanjur melekat di sana.
Stigma itu telah membuat keberadaan mereka tersisih. Dianggap sebagai penyakit masyarakat. Dengan identitas itu pula, warga sulit mendapatkan pekerjaan, apalagi untuk mendapatkan bantuan permodalan. ”Kami sering dianggap seperti penyakit masyarakat. Kalau mengajukan pinjaman ke bank, biasanya petugas bank akan menolak,” katanya.
Karena menghadapi banyak rintangan, akibatnya tersisa satu atau dua orang saja yang bertahan dengan usaha batik. Itu pun menjadi pekerja di usaha batik lain.
Kami sering dianggap seperti penyakit masyarakat. Kalau mengajukan pinjaman ke bank, biasanya petugas bank akan menolak.
Kegiatan membatik baru bangkit lagi setahun terakhir. Pertamina Aset I Jambi berniat memberdayakan masyarakat setempat sekaligus mengubah stigma kelam kampung narkoba. Rencana itu disambut antusias kaum perempuan. Tina pun mengajak teman-temannya bergabung. Mereka membentuk kelompok.
Pada tahap awal digelar pelatihan batik tulis dengan pewarnaan alam bagi 25 peserta. Selanjutnya pelatihan berlanjut dengan pewarnaan sintetis dan produksi batik cap.
Menurut salah seorang perajin, Vera (24), batik cap dan pewarnaan alam lebih cepat proses produksinya. Namun, harganya lebih murah. Batik seperti ini cocok untuk diproduksi massal. Cepat pula menambah penghasilan keluarga.
Namun, batik tulis dan pewarnaan alam juga tak kalah menjanjikan. Meskipun proses produksinya lebih panjang, apalagi dengan pencelupan warna yang rumit hingga belasan kali pengulangan, nilai jualnya lebih menggiurkan. ”Harga jualnya jauh lebih tinggi,” katanya.
Jadi solusi
Community Development Officer Pertamina Aset I Jambi, Harvaliani, mengatakan, pemberdayaan lewat kerajinan membatik menjadi solusi di tengah suramnya kehidupan masyarakat saat itu. Taraf ekonomi masyarakat setempat tergolong rendah. Bisa jadi bisnis narkoba dianggap sebagai solusi di tengah impitan perekonomian masyarakat.
Untuk membantu masyarakat bangkit, pihaknya meneruskan program pemberdayaan itu hingga setidaknya 5 tahun. ”Sampai para perajin betul-betul mandiri, baik dari kemampuan membatik, membangun akses pasar, hingga kelembagaannya, barulah program ini selesai,” ujarnya.
Menurut Zubaidah, warga setempat, kawasan itu mulanya damai. Sejumlah orang belakangan kerap masuk kampung untuk membangun bisnis narkoba. Lokasi kampung yang berada di daerah limpasan banjir kerap lepas dari pengawasan.
Bisnis itu akhirnya tumbuh subur. Para bandar mengajak warga lokal turut menjadi pengedar dengan iming-iming uang berjumlah besar. Gayung pun bersambut. Setiap hari jalan masuk kampung itu dipadati kendaraan. Banyak tamu tak dikenal keluar masuk kampung.
Rupanya mereka bertransaksi di sana. Hampir setiap pekan pula aparat keamanan keluar masuk menggelar operasi. Suasana di kampung itu tak lagi nyaman bagi warganya sendiri.
Sewaktu ditawari untuk mengembangkan batik, Zubaidah langsung menyambut. Ia membayangkan masa depan akan berangsur cerah. ”Kami semua bertekad, stigma kampung narkoba berubah menjadi kampung batik,” katanya.
Semangat kaum perempuan sejalan dengan rencana Pemerintah Kota Jambi menjadikan Danau Sipin sebagai kawasan wisata. Langkah awal telah dimulai Wali Kota Syarif Fasha sewaktu membangun gerakan bersih-bersih danau. Dalam rentang setahun, eceng gondok yang memenuhi permukaan danau itu dapat dibersihkan. Danau pun berangsur indah.
Kami semua bertekad, stigma kampung narkoba berubah menjadi kampung batik.
Juli mendatang, akan digelar Festival Layang-Layang di Danau Sipin. Inisiatif yang lahir dari warga setempat bakal semakin menambah semarak kampung itu. Sudahi narkoba, saatnya merawat keindahan batik dan layang-layang.