Jangan Terlena di Tengah Situasi Aman dan Damai
KUPANG, KOMPAS — Masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara Timur jangan merasa daerah itu selalu aman dari aksi teror. Pelaku teror sering menyasar wilayah yang dinilai aman dan masyarakatnya hidup rukun, untuk menciptakan kekacauan dan permusuhan antara kelompok umat beragama. Orangtua patut mewaspadai anak remaja yang sedang mencari jati diri melalui dunia internet.
Deputi Perlindungan, Pencegahan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Mayor Jenderal Hendri Lubis dalam seminar ”Perempuan Agen Perdamaian, Mengatasi Aksi Teroris”, di Kupang, Jumat (12/4/2019), mengatakan, hampir seluruh dunia digerogoti aksi teror. Kelompok radikal ini bukan orang beragama karena itu tidak boleh dimasukkan dalam kelompok agama tertentu.
”Mereka melawan nilai-nilai kemanusiaan, antikehidupan, dan berani mati demi tujuan mereka. Agama selalu mengajarkan nilai kemanusiaan, kebenaran, dan persaudaraan yang universal. Semua ajaran dari seluruh agama, pada akhirnya bermuara pada satu kata, yakni cinta kasih,” kata Hendri.
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mayoritas penduduk beragama nasrani tidak berarti nihil aksi teroris di daerah itu. Selandia Baru, negara yang selalu aman dan damai, tidak pernah terjadi kekacauan antarkelompok masyarakat, tiba-tiba dilanda aksi teroris.
Kelompok teroris selalu mengincar daerah-daerah yang aman, damai, dan warganya hidup rukun dan bersaudara. Mereka ingin membangun kekacauan di negara atau daerah itu dalam rentang waktu yang lama, seperti di Ambon dan Poso, Sulawesi.
Sasarannya adalah elemen masyarakat, yakni kelompok anak-anak dan perempuan. Anak-anak mudah diindoktrinasi, perempuan mudah menurut. Karena itu, tidak sedikit pelaku teror menikah dengan perempuan yang lalu diindoktrinasi dan kemudian menjadi pengantin.
Kehadiran teroris di Indonesia sejak 2006-2019 untuk merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski demikian, Indonesia memiliki cara tersendiri mengatasi kelompok-kelompok radikal ini.
Berguru ke Indonesia
Ia mengatakan, seluruh dunia berguru ke Indonesia, seperti Amerika Serikat, Jepang, Surya, Libya, negara-negara Eropa, dan akan datang pekan depan dari Arab Saudi. Mereka ingin tahu bagaimana Indonesia melakukan deradikalisasi kelompok terorisme ini. Mereka merasa heran, aksi-aksi teror di Indonesia selalu sukses diatasi Pemerintah Indonesia.
”Kunci sukses adalah pemerintah menggunakan pendekatan soft, persuasif, dan kemanusiaan, bukan kekerasan. Bekas pelaku teror ini diberi pemahaman yang benar dan diperlakukan sesuai nilai kemanusiaan. Bahkan, mantan pelaku teroris dijadikan narasumber untuk mengatasi paham radikalisme ini, seperti Ali Imron, yang mendapatkan hukuman seumur hidup, terkait aksi bom Bali,” tutur Hendri.
Perhatian pemerintah terhadap pelaku teror sedemikian baik, membuat para korban (penyintas) teroris marah dan menuntut agar pemerintah memberi perhatian lebih kepada para korban. Akhirnya, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang penanggulangan teroris di Indonesia direvisi oleh anggota DPR. Beberapa waktu lalu, para korban teror berkumpul di Pantai Kuta, Bali, untuk berekreasi dan kegiatan seminar.
Pemerintah juga sudah mempertemukan korban teroris dengan para pelaku teroris. Para korban sudah bersedia memaafkan para pelaku. Tindakan para korban ini juga bagian dari upaya deradikalisasi tersebut. Para pelaku pun sadar dan bertobat untuk menjalani hidup seperti sebelum menjadi teroris.
Ini sangat sulit dilakukan, tetapi kami berhasil mempertemukan itu. Mereka saling memaafkan dan tidak ada kebencian atau dendam. Tugas pemerintah setelah teror adalah memulihkan trauma korban dan memutuskan jalur-jalur teroris serta memproses secara hukum pelaku, termasuk di dalamnya proses deradikalisasi.
Dalam seminar yang dihadiri 100 perwakilan perempuan di NTT ini, Hendri mengingatkan peserta agar selalu mengawasi aktivitas anak-anak remaja di rumah. Anak memasuki usia remaja mulai mencari identitas diri. Jangan membiarkan anak-anak itu sendiri di dalam kamar berjam-jam hanya untuk bermain internet.
Ia mencontohkan, kasus di Sibolga, Sumatera Utara, 20 Maret 2019, berawal dari laporan bapaknya, yang setiap hari melihat anaknya tidak mau shalat, tidak mau bergaul dengan orang lain, dan tingkah lakunya mulai menentang orangtua. Anak itu selalu bertolak belakang dengan tatanan hidup dalam keluarga. Bapaknya curiga kemudian melapor ke polisi, akhirnya terungkap jaringan teroris itu.
Sebelumnya, mereka bertemu langsung, berhadapan muka. Indoktrinasi paham-paham radikal ini sering terjadi di ruang tertutup agar tidak terpantau orangtua, guru, dan aparat keamanan. Karena itu, sering terjadi beberapa orang dinyatakan hilang sampai berbulan-bulan ternyata mereka mengikuti kegiatan itu.
Kini, penyebar teroris mengindoktrinasi remaja lewat internet. Apalagi, sekarang hampir semua anak remaja pandai menggunakan internet. Mereka bisa mengindoktrinasikan ajaran sesat, kemudian diiringi dengan cara merakit bom, memasukkan paham-paham radikal, bagaimana cara menyamar di tengah masyarakat umum, dan lain-lain.
Mengantisipasi hal-hal ini, anak-anak dibatasi main internet. Mereka hanya bisa main internet saat libur dan mengerjakan tugas-tugas di sekolah. Itu pun harus diawasi. Jangan biarkan mereka menjelajahi dunia internet sendirian.
Ia mengingatkan, jika orangtua melihat anak-anak seperti itu, sulit diatur, sulit ditegur, dan lebih banyak sembunyi di dalam kamar, bermain internet, tidak mau berinteraksi dengan manusia sekitar, itu patut diwaspadai. Segera lapor polisi untuk dibina.
”Mengantisipasi hal-hal ini, anak-anak dibatasi main internet. Mereka hanya bisa main internet saat libur dan mengerjakan tugas-tugas di sekolah. Itu pun harus diawasi. Jangan biarkan mereka menjelajahi dunia internet sendirian,” ujarnya.
Internet berpengaruh positif selama mereka memanfaatkan untuk kepentingan belajar. Namun, sering anak-anak memanfaatkan internet untuk kepentingan tertentu, yang menjerumuskan dan menghancurkan masa depan mereka sendiri. Karena itu, orangtua perlu mengawasi anak-anak saat memanfaatkan internet.
Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Dalam Negeri NTT Sesilia Sona mengatakan, kunci utama menangkal radikalisme di NTT adalah kesamaan pendapat dan sikap hidup bersama dari para pemimpin Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) NTT. Jika para pemimpin agama bersatu, siapa pun dan dari mana pun dia, paham radikal tidak akan masuk NTT.
”Umat beragama di NTT adalah umat beragama yang hidup bersama dan menganut tradisi-tradisi lokal NTT. Kekuatan kita ada pada penghayatan tradisi lokal, warisan leluhur itu. Adat dan budaya NTT hampir sama meski agama berbeda-beda. Adat dan tradisi itu yang mempererat kesatuan antarumat beragama di NTT,” ujar Sona.