Hutan Punggualas, Dari Pilu Jadi Rindu
Hutan Punggualas di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, menjadi daya tarik wisata yang menjanjikan. Warga sekitar pun terlibat di dalamnya. Namun, di balik keindahan hutan gambut itu, tersisa kisahkisah pilu yang berhasil mereka hapus.
Teriakan rangkong terdengar dari kejauhan, menyusup di antara pepohonan, mengalahkan gemercik gerimis pada Jumat (1/2/2019) malam. Kepakan burung suci itu tak terlihat, hanya suaranya yang terdengar. Suasana seperti itu menyapa para pengunjung yang mencari rindu akan belantara hutan di Punggualas.
Untuk menjangkau tempat itu dari Kota Palangkaraya, ibu kota Kalteng, pengunjung bisa menempuh jalan darat menggunakan mobil sekitar empat jam, menempuh jarak 146 kilometer menuju Desa Baon Bango di Katingan. Dari desa itu, tepatnya di dermaga Kereng Patahi, perjalanan dilanjutkan menggunakan kelotok atau perahu kayu bermesin selama 25 menit.
Perahu kelotok itu melewati kanal dengan air hitam hutan gambut, semakin masuk ke jantung hutan, dan berhenti di kamp pengawas milik Taman Nasional Sebangau (TNS) dan World Wide Fund for Nature (WWF) Kalteng. Dari sana pengunjung diberi berbagai pilihan masuk ke jalur-jalur yang sudah disediakan untuk berjalan semakin jauh ke dalam hutan.
Semakin jauh melangkah, terlihat pohon buah yang banyak tumbuh di dalam hutan, seperti rambutan hutan, manggis, langsat, durian hutan, dan cempedak. Tidak heran kalau tempat ini menjadi surga makanan orangutan. Sedikitnya 40-60 individu orangutan tinggal di Punggualas yang luasnya mencapai 1.176 hektar.
Ini hanya sebagian kecil dari total luas TNS yang mencapai 568.700 hektar atau 1,5 kali luas DI Yogyakarta dengan total populasi orangutan pada survei 2016 mencapai 6.000 orangutan. Jumlah itu menjadikan TNS sebagai salah satu kawasan dengan populasi orangutan terbesar di dunia.
Chandra (45), warga Desa Karuing, salah satu desa penyangga hutan Punggualas mengatakan, nama punggualas memiliki arti ’pepohonan yang dipenuhi orangutan’. Meskipun demikian, untuk dapat melihat orangutan, pengunjung harus betul-betul masuk ke dalam jantung Punggualas. ”Zaman saya kecil hampir setiap saat lihat orangutan. Sekarang memang masih sering lihat, tetapi tidak sesering dulu,” katanya.
Punggualas menjadi jendela kecil kekayaan hayati di TNS. Tidak hanya orangutan, satwa liar dilindungi lain, seperti burung rangkong, macan dahan, dan kucing merah, hidup di tempat ini.
Di tempat ini para peneliti juga mengidentifikasi 3.321 jenis pohon endemik hutan gambut, 130 spesies kantong semar (Nepenthes), juga puluhan jenis anggrek hutan, salah satu yang paling terkenal adalah anggrek vanda yang merupakan ordo Asparagales.
Di tempat ini juga kubah gambut raksasa dengan diameter 12 kilometer terbentuk dari pelapukan ribuan tahun. Kubah gambut gigantik itu terbentuk lantaran lokasinya berada di antara Sungai Kahayan dan Sungai Sebangau. Timbunan vegetasi ribuan tahun di antara dua sungai itulah yang membentuk kubah.
Jejak pilu
Punggualas tak terbentuk indah begitu saja. Jejaknya puluhan tahun lalu menorehkan pilu. Masa di mana pohon-pohon ditebangi demi keuntungan ekonomi semata.
Berjarak 1 kilometer dari kamp Punggualas terdapat parit atau kanal yang terkenal. Parit itu disebut Parit Palembang karena pada 1970-an banyak orang Palembang datang untuk mengambil kayu.
Parit itu untuk mengalirkan kayu yang ditebang. Pada periode 1970-2006, kawasan Sebangau berstatus hutan produksi. Tiga dekade lamanya pohon-pohon ditebangi.
Dari data Taman Nasional Sebangau, sebelum menjadi kawasan konservasi, sedikitnya ada 13 izin hak pengusahaan hutan (HPH) di wilayah itu. Masyarakat yang sebelumnya memanfaatkan hutan sebagai sumber penghasilan malah ikut menebangi pohon secara ilegal untuk dijual ke perusahaan-perusahaan tersebut.
Bambang Hermanto, Sekretaris Desa Karuing, mengungkapkan, tempat ini dianggap mistis karena banyak orang tewas berebut lahan untuk memotong kayu di sekitar parit. Di zaman itu, kayu bagaikan emas.
Ia ingat bagaimana keluarganya bekerja memotong kayu dengan bayaran Rp 5 juta per hari untuk puluhan hingga ratusan kubik kayu. ”Itu uang panas, makanya bawa petaka. Semua mau bekerja, rebutan, tetapi mereka tahu bahwa tak boleh potong pohon sembarangan, bisa celaka,” katanya.
Bagi suku Dayak, memotong pohon tidak sembarangan. Dalam simbol batang garing atau pohon kehidupan, masyarakat Dayak percaya bahwa alam semesta, termasuk manusia, diciptakan dari pohon. Memotong pohon sembarangan akan membuat celaka.
Titik balik
Kini Sebangau berbenah. Punggualas dibentuk menjadi kawasan ekowisata dan penelitian. Semua bermula ketika izin-izin perusahaan habis dan status kawasan diubah menjadi kawasan konservasi.
Kanal-kanal yang dibuat para pembalak dan perusahaan kayu disekat untuk membasahi kembali kawasan gambut yang kering. Sedikitnya ada 800 kilometer kanal yang dibangun.
Modal sosial kemasyarakatan juga menjadi kunci sukses untuk mengembalikan ekosistem yang rusak. Sedikitnya ada lima desa di sekitar Punggualas yang dilibatkan dalam pengelolaan ekowisata. Mereka juga memiliki demplot rotan di sekitar Punggualas untuk kembali membudidayakan rotan.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Petani Rotan Katingan (P2RK) Oskar N Sukah mengungkapkan, rotan menjadi salah satu komoditas pengganti agar masyarakat tidak membalak kayu. Langkah ini sukses mengubah masyarakat.
”Bahkan, rotan menjadi salah satu daya tarik bagi turis. Banyak yang mau melihat proses budidayanya hingga menjadi tikar, keranjang, dan kerajinan tangan khas Dayak lainnya,” kata Oskar.
Keindahan hutan Punggualas berhasil menghapus jejak-jejak pilu di masa lampau. Dari yang rusak kembali belantara dan bahkan memberikan kesejahteraan. Sebuah harapan terbaik dari titik balik yang tak pernah pupus.