Belajar Mencintai Alam dari Sawendui
Di tengah maraknya perburuan satwa endemik dan perambahan hutan, masyarakat di Kampung Sawendui, Distrik Raimbawi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, konsisten menjaga alam. Upaya itu agar generasi muda Sawendui dapat menikmati hutan yang hijau dan perairan yang kaya ikan hingga ratusan tahun mendatang.
Sawendui dapat dicapai dari Serui, ibu kota Kepulauan Yapen, selama empat jam dengan perahu motor. Kamis (4/4/2019) sekitar pukul 05.00 WIT, 20 pria berjalan kaki dari wilayah perkampungan Sawendui, menyusuri pesisir pantai kemudian masuk ke hutan yang berjarak sekitar 700 meter dari pantai.
Mereka adalah peserta diskusi bertema ”Berbagi Pengalaman dalam Pengelolaan Hutan bagi Masyarakat Adat” yang diselenggarakan WWF Indonesia Program Papua di Sawendui pada 3-6 April 2019.
Selain diskusi, mereka juga melihat pengelolaan hutan secara berkelanjutan dan memantau burung cenderawasih. Lokasi pemantauan hanya 15 menit jalan kaki dari tepi hutan. Ke sanalah mereka menuju pagi itu.
Para peserta merupakan perwakilan sembilan kelompok komunitas masyarakat pengelola hutan adat dari lima kabupaten, yakni Kabupaten Jayapura, Kepulauan Yapen, Sarmi, Merauke, dan Keerom. Dari Sawendui ada satu kelompok, yakni Koperasi Serba Usaha (KSU) Kornu.
Dalam perjalanan ke hutan, mereka diantar Ketua KSU Kornu Hendrikus Wuryasi bersama sejumlah anggota kelompok dan anggota staf WWF Indonesia Program Papua yang bertugas di Sawendui, Muhamad Ikhsan Anggoda.
Setiba di lokasi pemantauan, para peserta takjub menyaksikan aktivitas enam burung cenderawasih kuning kecil (Paradiseae minor) jantan dan betina di pucuk pohon lolang setinggi 70 meter. Sejumlah peserta mengabadikan momen tersebut lewat foto dan video dari kamera atau ponsel.
Enam burung itu tampak ceria dan tak merasa terganggu. Masyarakat setempat menyediakan areal 100 hektar untuk tempat berlindung burung cenderawasih. Waktu untuk melihat burung cenderawasih di hutan adalah pukul 05.00-07.00 WIT dan pukul 16.00-17.30 WIT.
Ada enam lokasi pemantauan burung cenderawasih di areal seluas 100 hektar tersebut. Dari hasil pendataan WWF, terdapat spesies cenderawasih lain di Sawendui, yakni belah rotan (Cicinnurus magnificus). Total populasi satwa endemik tersebut di Sawendui 24 ekor.
Untuk melindungi cenderawasih, ada peraturan tegas di Sawendui. Masyarakat yang kedapatan menembak cenderawasih dikenai sanksi adat, yaitu membayar denda Rp 5 juta. Hal ini membuat masyarakat setempat tak berani berburu cenderawasih seenaknya.
”WWF baru mendampingi masyarakat untuk pengelolaan hutan secara lestari dan perlindungan satwa endemik seperti burung cenderawasih pada 2016. Masyarakat Sawendui dengan inisiatif sendiri menghentikan aksi perburuan cenderawasih sejak tahun 2010,” kata Ikhsan.
Bambang Birawa (30), peserta dari Kabupaten Jayapura, menyatakan terinspirasi dengan upaya masyarakat Sawendui dalam menjaga burung cenderawasih. Bambang dulu adalah pemburu cenderawasih. Ia bisa membunuh delapan burung per hari sejak 2007.
”Sejak 2018 saya memutuskan berhenti memburu burung cenderawasih. Dengan informasi dari WWF, saya sadar satwa ini adalah ciri khas Papua yang harus dijaga. Saya semakin yakin dengan keputusan ini setelah melihat langsung pelestarian cenderawasih di Sawendui,” ujarnya.
Tanpa lelah
Masyarakat Sawendui, dimotori Kepala Kampung Absalom Korano, rutin berpatroli menjaga hutan Sawendui yang menjadi tempat perlindungan cenderawasih seluas 100 hektar. Ada 54 jenis pohon di sana. Jumlah anggota KSU Kornu yang berpatroli pada pagi dan sore hari delapan orang.
Total luasan hutan di Sawendui mencapai 4.540 hektar. Hutan Sawendui berperan sebagai kawasan penyangga Cagar Alam Yapen Tengah yang luasnya 59.000 hektar.
Sejak tahun 2004, tak ada lagi perusahaan, baik yang punya hak pengusahaan hutan (HPH) maupun yang tanpa izin operasi, yang mengambil kayu merbau di Sawendui.
”Masyarakat tidak mendapatkan keuntungan dari perusahaan HPH dan hutan semakin gundul. Tongkang perusahaan dapat membawa 5.000 meter kubik kayu merbau sekali angkut. Karena itu, kami tak mau lagi ada perusahaan di sini,” kata Absalom.
Pemerintah Provinsi Papua memberikan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu masyarakat hukum adat (IUPHHK-MHA) bagi masyarakat adat Kampung Sawendui pada 9 Juli 2013 seluas 4.450 hektar. WWF Indonesia Program Papua secara langsung mendampingi masyarakat Sawendui sejak tahun 2016 agar mengelola hutan secara berkelanjutan.
Selama tiga tahun terakhir masyarakat bersama WWF menggalakkan penanaman kembali kayu merbau hingga 600 pohon di kawasan seluas 1 hektar. Warga juga menanam pohon sagu di areal seluas 500 meter persegi.
Namun, upaya mengelola hasil hutan secara mandiri dan lestari di Sawendui belum dapat terlaksana karena masih menunggu putusan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait penetapan norma standar prosedur kriteria (NSPK). Karena itu, masyarakat menanti regulasi dari pemerintah sehingga tidak melanggar hukum.
”Masyarakat hanya menggunakan kayu di area hutan produksi untuk kebutuhan sendiri, seperti membuat rumah dan mebel,” ujarnya.
Selain hutan, masyarakat Sawendui juga melindungi wilayah perairannya. Tak ada penggunaan bom untuk mencari ikan sejak 2012. Saat yang sama, masyarakat didampingi lembaga Saireri Paradise Foundation membuat penangkaran telur penyu belimbing dan penyu hijau. Saat ini ada 12 lokasi penangkaran telur penyu. Warga dilarang mengonsumsi daging penyu.
Beberapa kali, nelayan setempat terancam nyawanya karena menghadapi nelayan dari luar Kepulauan Yapen yang menggunakan bom untuk menangkap ikan. Hal itu demi menjaga agar terumbu karang tidak rusak.
Kembangkan ekowisata
Direktur WWF Indonesia Program Papua Benja Mambay menilai, Kampung Sawendui memiliki potensi sebagai destinasi ekowisata karena memiliki kondisi hutan yang masih alami, laut yang jernih, dan lokasi pemantauan burung cenderawasih.
Lewat ekowisata, masyarakat tak lagi menggantungkan hidup dari mengelola hasil hutan kayu. Mereka bisa mendapatkan pemasukan dari kehadiran wisatawan yang ingin melihat burung cenderawasih dan penyu belimbing serta wisata pendakian ke sejumlah bukit di Sawendui.
”Sawendui bisa dikembangkan sebagai lokasi pemantauan burung cenderawasih, seperti di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, sejak tahun 2016. Tempat itu dikunjungi banyak wisatawan asing dan nasional setiap bulan,” kata Benja.
Alex Waisimon, pengelola ekowisata Rhepang Muaif, menyatakan siap membantu pengembangan ekowisata di Sawendui. ”Diperlukan akses untuk menuju ke lokasi pemantauan dan menara pemantau sehingga wisatawan bisa melihat cenderawasih dengan jelas. Juga perlu ada penginapan,” kata Alex.
Kepala Kesatuan Pengelola Hutan Produksi (KPHP) Kabupaten Kepulauan Yapen Ottow Maker mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan pemda setempat untuk mengelola potensi ekowisata di Sawendui. Sebelumnya KPHP Yapen telah mengembangkan destinasi ekowisata menyelam dan lokasi swafoto di Kampung Sarawandori sejak tahun 2018.
”Ekowisata efektif mengurangi ketergantungan masyarakat dari kayu hutan. Di Kepulauan Yapen saja, pengambilan kayu di kalangan masyarakat mencapai 2.000 meter kubik per tahun. Sawendui merupakan contoh positif upaya masyarakat menjaga hutan sebagai salah satu pusat konservasi lingkungan di Kepulauan Yapen,” ujar Ottow. (Fabio Maria Lopes Costa)