Warga Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, merawat tradisi, seperti aktivitas pemotongan hewan kurban serta arak-arakan khitan dan gebyuran menjelang bulan Ramadhan. Identitas kampung terus diperkuat dengan kekariban dan keguyuban warga.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
Warga Kampung Bustaman, Kelurahan Purwodinatan, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang, Jawa Tengah, merawat tradisi, seperti aktivitas pemotongan hewan kurban serta arak-arakan khitan dan gebyuran menjelang bulan Ramadhan. Identitas kampung terus diperkuat dengan kekariban dan keguyuban warga.
Pada Minggu (21/4/2019), digelar Bocah Kampung Sunat atau arak-arakan tradisi khitan Kampung Bustaman. Sejumlah anak yang didandani serta menggunakan kostum berbaris paling depan. Sementara anak-anak yang dikhitan diarak dengan kuda-kudaan di barisan belakang.
Acara itu merupakan bagian dari Tengok Bustaman IV yang diinisiasi Komunitas Hysteria bersama Kampung Bustaman. Adapun kegiatan itu berlangsung 20-28 April dengan mengangkat tema ”Bustaman untuk Dunia”. Puncaknya, pada Minggu (28/4/2019), dilaksanakan Gebyuran Bustaman atau perang air suci.
Direktur Hysteria Ahmad Khairudin menuturkan, Tengok Bustaman digelar dua tahun sekali sejak 2013. ”Tahun ini, yang diangkat adalah peranan Ki Bustam yang mendirikan kampung ini. Sejarah tentang kampung ini didalami, kemudian diangkat sendiri oleh warga,” ujarnya.
Adapun Kampung Bustaman selama ini dikenal sebagai pusat penyediaan hewan kurban serta penjual gulai Bustaman. Hal tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari tangan dingin Ki Bustam, yang mendirikan kampung tersebut.
Khairudin menuturkan, model pengembangan kebudayaan yang ada di Kampung Bustaman dapat menjadi contoh bagi kampung-kampung lain. ”Mereka tidak terikat dengan tradisi materialistis. Tua dan muda, mereka dilatih untuk mengadvokasi apabila suatu saat terjadi pada kampung mereka,” katanya.
Salah satu penjagal kambing di Kampung Bustaman, M Toni Wibisono (59), mengatakan, Kampung Bustaman terdiri dari dua RT, yaitu RT 004 dan 005. Pada 1961, ada tujuh penjagal, kemudian bertambah menjadi 13 orang pada 1979.
Mereka tidak terikat dengan tradisi materialistis. Tua dan muda, mereka dilatih untuk mengadvokasi apabila suatu saat terjadi pada kampung mereka.
Saat ini, penjagal tinggal tersisa empat orang, termasuk Toni sendiri. ”Menjadi kampung pemotongan hewan memang sudah turun-temurun. Sekarang, tinggal empat orang, tetapi dibantu anak-anak kami. Beberapa yang tidak lanjut karena anaknya perempuan,” ujarnya.
Toni berharap tradisi turun-temurun, yang juga mewakili kekariban warga, dapat terus bertahan dan diturunkan kepada generasi muda. Selain tukang jagal, sejumlah warga Bustaman juga melakukan sejumlah aktivitas lain terkait dengan kambing, seperti menjual gulai.
Tradisi gebyuran
Sementara itu, terkait tradisi gebyuran, Toni menuturkan bahwa hal itu juga merupakan tradisi turun-temurun. ”Ibarat disucikan menjelang bulan Ramadhan,” katanya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang Indriyasari menuturkan, Bustaman memiliki konten yang kuat terkait tradisi dan sejarah yang telah ada sejak lama. Pihaknya pun mengapresiasi apa yang dilakukan oleh warga Bustaman karena jarang warga yang mengetahui sejarah tempat tinggalnya.
”Mereka aktif menggali sejarah. Harapan kami, semakin banyak yang mengenal Kampung Bustaman. Kami juga mencoba mendukung dengan pembinaan agar ke depan semakin menarik. Tentu, dengan sejumlah keterbatasan, karena lokasi yang sempat atau tempat parkir terbatas,” katanya.
Indriyasari menambahkan, partisipasi masyarakat yang tinggi dan terlibat aktif dalam pengembangan kampungnya menjadikan Gebyuran Bustaman masuk dalam Kalender Event Kota Semarang 2019. Pemerintah kota mendukung penuh kegiatan tersebut.