Banjir bandang dan longsor berulang yang menerjang Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, menujukkan mitigasi bencana di daerah itu masih rapuh. Tanpa ada pembangunan mitigasi yang kuat, Aceh Tenggara bakal selalu dalam ancaman bencana.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS - Banjir bandang dan longsor berulang yang menerjang Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, menujukkan mitigasi bencana di daerah itu masih rapuh. Tanpa ada pembangunan mitigasi yang kuat, Aceh Tenggara bakal selalu dalam ancaman bencana.
Hal itu menjadi benang merah diskusi bertema “Bencana Berulang di Aceh Tenggara” yang digelar dalam rangka memperingati Hari Bumi Internasional di Aceh, Senin (22/4/2019). Dari 23 kabupaten/kota di Aceh, Aceh Tenggara paling rentan dilanda banjir bandang.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Aceh Muhammad Nur mencatat, dalam sepuluh tahun terakhir 2010 – 2019, Aceh Tenggara dilanda banjir bandang skala kecil hingga besar sebanyak 37 kali. Dampaknya, sembilan orang meninggal dunia, 11 orang luka-luka, dan 38.722 jiwa mengungsi.
Selain itu, sebanyak 443 rumah rusak berat, 171 rusak sedang, 1.319 rusak ringan, 2.659 terendam, serta ratusan hektar lahan warga hancur. Walhi Aceh memperkirakan kerugiannya mencapai Rp 215 miliar.
Nur mengatakan, pemerintah tidak menjadikan bencana sebagai pelajaran untuk membangun mitigasi. Kata Nur, perambahan hutan dan penebangan liar masih dibiarkan. Padahal, kerusakan hutan memicu bencana alam.
“Tahun lalu, dari informasi yang kami himpun, lebih 50 titik terjadi ilegal logging di Aceh Tenggara. Kayu-kayu itu dibawa ke Sumatera Utara,” ujar Nur.
Data yang disampaikan Nur sesuai dengan pantauan yang dilakukan Kompas awal Februari 2019. Di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh Tenggara, penebangan liar terus terjadi. Warga merambah hutan untuk membuka kebun jagung.
“Mitigasi sangat lemah. Kalau tidak tidak ada mitigasi, Aceh Tenggara akan selalu dalam ancaman bahaya,” kata Nur.
Topografi Aceh Tenggara yang terdiri dari perbukitan dan pergunungan membuat potensi longsor kian besar. Pungung-pungung bukit banyak dijadikan kebun jagung dan kakao. Sementara kayu keras pada lereng-lereng itu ditebang. Akibatnya, saat hujan terjadi dalam intesitas tinggi banjir bandang mudah terjadi.
Selain itu, daerah aliran sungai alas yang mengalir dari Kabupaten Gayo Lues melewati Aceh Tenggara dalam keadaan rusak. Air sungai sering meluap saat dilanda hujan dalam intensitas tinggi.
Sebelumnya, Bupati Aceh Tenggara Raidin Pinim kepada Kompas mengatakan, sukar mencegah warga membuka lahan karena warga butuh lahan untuk berkebun. Pasalnya, lebih separuh luas wilayah Aceh Tenggara merupakan hutan lindung.
Akan tetapi, kata Raidin, saat ini, sudah ada skema perhutanan sosial dan hutan kemitraan dengan Taman Nasional Gunung Leuser. Hutan kemitraan mengizinkan warga mengelola hutan tanpa merusak fungsi hutan dan menebang pohon. Raidin berharap, dengan skema itu warga memiliki sumber pendapatan dan hutan tetap terjaga.
Sementara itu, Wakil Bupati Aceh Tenggara Bukhari mengatakan, degradasi lingkungan, seperti kerusakan daerah aliran sungai dan hilangnya tutupan hutan, memicu banjir bandang. Intensitas banjir luapan dan bandang di Aceh Tenggara kian sering.
"Untuk mengurangi potensi banjir, tahun ini pemerintah akan melakukan normalisasi sungai,” kata Bukhari.
Direktur Forum Konservasi Leuser Rudi Putra mengatakan, kerusakan hutan di Aceh Tenggara memicu banjir bandang. Pada 2018, FKL mencatat tutupan hutan di Aceh Tenggara berkurang seluas 1.000 hektar.
“Mitigasi bencana paling baik adalah menyelamatkan hutan dari kerusakan,” kata Rudi.