Para pembudidaya ikan keramba jaring apung di Waduk Ir H Djuanda Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, mengeluhkan keberadaan enceng gondok yang semakin tak terkendali. Rimbunan gulma itu menyebabkan lalu lintas transportasi air terhambat. Mereka berharap agar ada upaya serius dari pemerintah untuk mengatasinya.
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
PURWAKARTA, KOMPAS - Para pembudidaya ikan keramba jaring apung di Waduk Ir H Djuanda Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, mengeluhkan keberadaan enceng gondok yang semakin tak terkendali. Rimbunan gulma itu menyebabkan lalu lintas transportasi air terhambat. Mereka berharap agar ada upaya serius dari pemerintah untuk mengatasinya.
Sejak musim hujan berlangsung, ribuan gulma air kian rimbun menyelimuti Kawasan waduk. Siang itu, belasan pekerja keramba jaring apung (KJA) di zona I Waduk Ir H Djuanda Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Kamis (25/4), bekerja ekstra untuk menyingkirkan enceng gondok yang berada di sekitar keramba. Mereka bahu-membahu membawa gulma itu ke pinggir waduk dengan menggunakan perahu.
Rutinitas ‘bebersih’ ini selalu dilakukan sebelum memberi pakan ikan, mereka mengangkat ratusan kilo gulma ke dalam mobil bak terbuka. Kemudian membuangnya di pinggir jalan.
Ferdian (28), pembudidaya keramba jaring apung (KJA) di zona I Waduk Ir H Djuanda Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Kamis (25/4), telah mengganti baling-baling mesin kapal sebanyak dua kali. Baling kapalnya patah lantaran tidak kuat menahan beban akar enceng gondok. Ia sampai harus menggunakan baling berganda agar mempermudah laju perahu.
Jarak dari tepi waduk menuju keramba milik ayah Ferdian membutuhkan waktu hingga dua jam. Padahal, idealnya bisa ditempuh sekitar 45 menit. Waktu tempuh yang lama sekaligus membuat bahan bakar solar yang dikeluarkan menjadi membengkak.
Ferdian berharap agar pemerintah lebih memerhatikan pemberantasan enceng gondok. Sebab menurutnya, gulma itu juga berpengaruh terhadap produktivitas ikan
Hal itu tak hanya dirasakan Ferdian. Pengelola KJA di Zona I lain, Didin (35), menggunakan tiga perahu untuk operasional menuju keramba. Ia selalu menyiapkan cadangan baling-baling mesin sebanyak tiga rangkap. Total biaya yang ia keluarkan untuk penggantian baling-baling Rp 220.000 per hari.
Didin juga mengeluhkan keberadaan enceng gondok yang berpengaruh terhadap masa panen yang lama. Biasanya ia mampu memanen ikan mas paling cepat dua bulan. Kini ia hanya bisa pasrah dan menunggu waktu panen antara kurun waktu 3 hingga 4 bulan.
Berdasarkan catatan peneliti dari Balai Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jatiluhur, populasi enceng gondok yang tinggi disebabkan berlebihnya jumlah nutrien pada ekosistem perairan. Nutrien itu dapat bersumber dari pakan ikan yang dibudidaya. Adapun terjadinya ledakan pertumbuhan itu dapat menyebabkan penurunan kandungan Oksigen karena penetrasi cahaya matahari tidak mampu menembus hingga lapisan. Jika pertumbuhan dibiarkan, maka dapat menurunkan tingkat produksi ikan dan pendangkalan di waduk.
Data Badan Pusat Statistik Jawa Barat tahun 2016, Kabupaten Purwakarta menempati posisi pertama dalam produksi budidaya ikan dengan menggunakan jarring apung, yakni sebanyak 94.480 ton per tahun. Sementara total produksi ikan hasil budidaya jarring apung di seluruh kabupaten atau kota se- Jawa Barat sebesar 105.137 ton. Artinya, ikan masih menjadi produk andalan Kabupaten Purwakarta
Menanggapi hal itu, Sekretaris Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Purwakarta Ade M Amin menyampaikan, pihaknya telah berupaya untuk membenahi ekosistem waduk, khususnya, penanganan populasi enceng gondok. Menurut dia, penanganan tak bisa hanya mengandalkan program tertentu pemerintah. Namun juga memerlukan kesadaran masyarakat pengelola dan pembudidaya.
“Partisipasi aktif masyarakat dibutuhkan. Kalau hanya mengandalkan pemerintah, tentu upaya penanganan tidak akan berjalan maksimal,” katanya.
Program re-stocking bibit ikan yang dilakukan di Jatiluhur. Bibit ikan nila, emas, patin, dan bandeng usia 45 hari hingga 2 bulan dilepas bebas di waduk. Ikan itu dibiarkan tumbuh secara alami dengan pakan eceng gondok.
Menurutnya program itu berperan cukup efektif dalam mengurangi jumlah enceng gondok. Meski demikian, ia mengaku belum mengetahui persentase persebaran eceng gondok di Jatiluhur.
Melebihi daya tampung
Sementara dikutip dalam buku Tata Kelola Perikanan Berkelanjutan di Waduk Jatiluhur karangan para ahli dan peneliti Balai Pemulihan dan Konservasi Sumber Daya Ikan Jatiluhur, Surat Keputusan Bupati Purwakarta Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pemnafaatan Waduk untuk Kegiatan Perikanan, jumlah KJA optimal adalah 2.100 petak, Data Perum Jasa Tirta 2012 menyebutkan jumlah KJA sebesar 21.579 petak sedangkan daya dukung perairan Waduk Jatiluhur sebesar 2.364 petak KJA. Pada tahun 2015, jumlah KJA yang beroperasi 18.038 petak. Hal itu menunjukan KJA yang beroperasi telah melebihi daya dukung perairan.
Jumlah KJA di Waduk Ir H Djuanda Jatiluhur melonjak pesat dari sekitar 2.400 petak pada tahun 2004 menjadi lebih dari 15.000 petak tahun 2009. (Kompas, 16/11/2009).
Ketua Unit Pelaksana Teknis Daerah Perairan Umum Jatiluhur Dang Amal M, mengatakan, upaya penertiban KJA liar terus dilakukan. Adapun kriteria penertiban KJA antara lain, jaring rusak, dan tak berizin. Bersama tim, saat ini, target operasi penertiban sebanyak 100 KJA liar per hari.
Ia mengutip data penertiban satgas Jatiluhur, kurun tahun 2016 hingga 2018, ada sekitar 10.000 petak KJA yang sudah ditertibkan. Hanya sekitar 23.000 petak kolam yang memiliki surat izin dari total KJA yang beroperasi di Jatiluhur, yakni lebih kurang 45.000 petak KJA.