Pendidikan agama perlu direformasi agar tidak sekadar mengajarkan hal yang bersifat dogmatis. Cara menghargai kemanusiaan dari sudut pandang agama hendaknya ditonjolkan pula dalam pengajaran guna menciptakan kondisi sosial yang kohesif di tengah masyarakat.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS - Pendidikan agama perlu direformasi agar tidak sekadar mengajarkan hal yang bersifat dogmatis. Cara menghargai kemanusiaan dari sudut pandang agama hendaknya ditonjolkan pula dalam pengajaran guna menciptakan kondisi sosial yang kohesif di tengah masyarakat.
Hal itu menjadi rekomendasi yang dirumuskan sejumlah akademisi dalam seminar nasional bertema “Agama dan Harkat Kemanusiaan di Era Sintesis” yang diselenggarakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 25-26 April 2019.
“Kita tidak bisa puas dengan pendidikan agama yang sifatnya doktriner dan pragmatik. Bagaimana caranya ada perubahan paradigma yang lebih dialogis dengan menekankan nilai integrasi sosial dan kemanusiaan,” kata Ketua Komisi Kebudayaan AIPI Amin Abdullah, di Yogyakarta, Jumat (26/4/2019).
Amin menyatakan, esensi ajaran agama yang mengutamakan harkat dan martabat kemanusiaan mulai tereduksi. Saat ini, pendidikan agama cenderung menghasilkan pemahaman agama yang dangkal dan polarisasi di tengah masyarakat.
Kondisi itu diperburuk dengan semakin liarnya kabar bohong dan ujaran kebencian yang tersebar begitu luas dan cepat di era digital. Celakanya, informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya itu dipercayai oleh sebagian masyarakat. Hal tersebut memicu terjadinya perselisihan di tengah masyarakat.
Saat ini, masyarakat juga telah memasuki era pasca kebenaran (post truth). Pada era tersebut, kebenaran atau realitas faktual kerap tidak dipercaya. Masyarakat justru memercayai kabar yang tidak jelas kebenarannya. Hal itu terjadi karena kabar bohong terus menerus diulang dan disiarkan sekelompok orang sehingga dipercayai sebagai sebuah kebenaran.
Berpikir lebih kritis
“Kita perlu mengantarkan anak didik berpikir lebih kritis. Tidak menelan mentah-mentah apa yang mereka terima. Harus ada pengayaan nilai-nilai kemanusiaan universal dan ke-Indonesia-an,” kata Amin.
Sementara itu, Core Doctoral Faculty ICRS UGM Dicky Sofjan menyampaikan, secara umum, sebenarnya setiap agama itu mengajarkan tentang hak asasi manusia. Hak tersebut mutlak harus dihargai oleh setiap orang. Tetapi, hal itu kerap kali terlupakan. Butuh kesadaran bersama untuk terus mengingatkan masyarakat menghargai hal tersebut.
“Semua orang itu punya harkat dan martabat manusia. Itu terlepas dari statusnya. Mereka berhak dihargai. Kita perlu membangun kesadaran kolektif untuk menyadari esensi ajaran agama dan spiritualitas dengan prinsip memanusiakan manusia,” kata Dicky.
Selain itu, Dicky menyatakan, masyarakat juga perlu memiliki ketahanan dari aksi-aksi intoleran. Mereka harus berani menentang jika ada kelompok yang akan bertindak intoleran. Sebab, jumlah kelompok intoleran itu sebenarnya sedikit.
Hanya mereka lebih vokal dan keras berteriak memenuhi ruang publik dengan wacana mengenai aksi dan ujaran intoleransi. Kontras dengan mayoritas masyarakat yang sebenarnya lebih moderat tetapi lebih memilih diam.
Semua orang itu punya harkat dan martabat manusia. Itu terlepas dari statusnya. Mereka berhak dihargai. Kita perlu membangun kesadaran kolektif untuk menyadari esensi ajaran agama dan spiritualitas dengan prinsip memanusiakan manusia
Anggota Komisi Kebudayaan AIPI Siti Musdah Mulia menyampaikan, media berperan penting untuk menghapuskan aksi intoleransi di tengah masyarakat. Mereka tidak boleh bosan mengawal berbagai aksi intoleransi yang terjadi. Aktivisme media melawan intoleransi menumbuhkan kesadaran masyarakat bahwa ada sesamanya yang diperlakukan tidak adil.
“Media bagian penting dari civil society. Media membuat daya kritis masyarakat menguat. Dengan demikian, tidak ada silent majority. Tidak akan lagi ada pembiaran terhadap aksi-aksi intoleransi baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Media harus mampu mengarusutamakan nilai-nilai kemanusiaan di alam pikir masyarakat,” kata Musdah.