DELI SERDANG, KOMPAS —Pengembangan penyehat atau pengobatan tradisional masih terkendala izin praktik dan izin edar serta sulitnya bahan baku obat tradisional. Kondisi ini mengancam keberlangsungan penyehat tradisional.
”Kendala paling dominan yang dihadapi penyehat tradisional adalah sulitnya mengurus izin praktik dan izin edar obat tradisional,” kata Ketua Perkumpulan Aktivis Penyehat Alternatif Sumatera Utara (P-APASU) Muhammad Yusuf Harahap, Kamis (25/4/2019), dalam seminar bertema ”Tantangan Penyehat Tradisional ke Depan” di Training Center Sayum Sabah, Deli Serdang, Sumut. Seminar ini difasilitasi Yayasan Bina Keterampilan Pedesaan (Bitra) Indonesia.
Menurut Yusuf, ada ribuan penyehat tradisional di Sumut. Sebagian dari mereka belum mempunyai surat terdaftar penyehat tradisional (STPT) yang dikeluarkan dinas kesehatan atau pelayanan terpadu satu pintu di kabupaten/kota. Ramuan yang mereka buat juga banyak yang belum mendapat izin edar. ”Ini karena banyak yang tidak tahu aturan, cara, dan tempat mengurus izin,” katanya.
Sementara itu, penyehat tradisional juga kesulitan mendapatkan bahan baku ramuan obat. Kalaupun ada, kualitasnya kurang bagus. ”Berkurangnya pasokan bahan baku ramuan antara lain karena kerusakan hutan. Padahal, peramu obat tradisional banyak di desa penyangga hutan. Kini, hutannya hilang, tanaman obat ikut hilang,” katanya.
Ia mencontohkan tanaman kumis kucing yang beberapa tahun lalu banyak tumbuh di pekarangan atau di pinggir hutan. Kini tanaman yang biasa diramu untuk pengobatan gangguan ginjal itu sulit ditemukan. Kalaupun ada, khasiatnya berkurang karena terkontaminasi polusi udara.
Wakil Direktur Bitra Indonesia Iswan Kaputra mengatakan, pengobatan tradisional merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia yang terancam ditinggalkan. Padahal, pengobatan itu sangat cocok untuk Indonesia, khususnya perdesaan yang jauh dari fasilitas kesehatan medis.”Biaya pengobatan tradisional juga lebih terjangkau bagi warga desa,” kata Iswan.
Anggota Sentra Pengembangan dan Penerapan Pengobatan Tradisional Dinas Kesehatan Sumut Sri Agustina Sembiring mengatakan, Riset Kesehatan Dasar 2010 menyebutkan, 59,1 persen masyarakat pernah minum jamu dan 95,6 persen di antaranya merasakan manfaatnya. (NSA)