Ramainya minat berwisata ke Gunung Bulusaraung dan kawasan lain di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung mendorong pengelola kawasan taman nasional bekerja sama dengan warga desa mengembangkan wisata. Selain memastikan kelestarian kawasan tetap terjaga, masyarakat sekitar juga mendapatkan manfaat ekonomi dari berkah alam itu.
Di Desa Tompo Bulu, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan (Pangkep), yang menjadi gerbang masuk pendakian Bulusaraung, para pemuda membentuk Kelompok Pengelola Ekowisata (KPE) Dentong. Kelompok ini resmi dibentuk pada 2013, tiga tahun setelah pihak Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TN Babul) memulai kerja sama pengelolaan kawasan wisata dengan Pemerintah Desa Tompo Bulu.
Peraturan desa terkait kerja sama dan pengelolaan kawasan wisata ini ditetapkan. Pengelola mengatur retribusi untuk setiap pengunjung. Biaya registrasi yang dipungut untuk mendaki adalah Rp 8.000 per orang. Untuk kendaraan, biaya parkir Rp 5.000 untuk roda dua dan Rp 10.000 untuk roda empat.
”Ini pungutan resmi yang disetujui desa dan pengelola taman nasional. Hasilnya ada yang masuk ke desa, kelompok pengelola ekowisata, dan penghasilan negara bukan pajak,” kata Arman, Ketua KPE Dentong.
Untuk pemeliharaan
Arman menjelaskan, dana dari retribusi itu digunakan untuk pemeliharaan dan pembenahan fasilitas penunjang pariwisata. ”Selain itu, dana juga dimanfaatkan untuk pelatihan bagi warga atau pemuda, misalnya pelatihan SAR,” kata Arman, Ketua KPE Dentong.
Anggota Staf Pengendali Ekosistem Hutan TN Babul, Taufik Ismail, mengatakan, pengelolaan wisata di kawasan taman nasional dilakukan dengan melibatkan desa-desa sekitar. ”Selain mendapat pemasukan, warga dengan sendirinya juga terlibat aktif dalam pemeliharaan dan menjaga kawasan,” ujarnya.
Taufik menambahkan, pihaknya mengawasi dan mengevaluasi semua aktivitas agar kelestarian flora dan fauna di dalam kawasan tetap terjaga. ”Salah satu yang membuat kupu-kupu dan burung serta hewan lain masih mudah dijumpai di kawasan ini karena alamnya masih terjaga,” katanya.
Aturan pendakian di Bulusaraung cukup ketat, di antaranya terkait sampah. Pengunjung diminta membawa turun sampah bekas kemasan makanan. Pengelola ekowisata secara rutin sebulan sekali naik ke gunung untuk mengecek kebersihan kawasan. Pengunjung tak dibolehkan menginap berhari-hari di gunung untuk mencegah potensi kerusakan lingkungan.
Menurut Arman, beberapa tahun belakangan, pengunjung Bulusaraung terus meningkat. Jika lima tahun lalu paling banyak dikunjungi 100 orang per minggu, tahun lalu jumlah pengunjung meningkat lebih dari dua kali lipat.
Bahkan, dalam momen tertentu, seperti peringatan HUT Kemerdekaan, Hari Sumpah Pemuda, dan Hari Pahlawan, pengunjung bisa mencapai 1.000 orang sekali naik. Berdasarkan data TN Babul, tahun 2017, jumlah pengunjung tercatat lebih dari 3.600 orang.
Peluang usaha
Pesatnya kunjungan ke Bulusaraung membuat warga setempat menangkap peluang dengan menyiapkan berbagai kebutuhan pengunjung. Kios-kios yang menjual makanan dan minuman untuk keperluan bekal mendaki mudah dijumpai di Desa Tompo Bulu.
Umumnya, pengunjung lebih senang membeli keperluan atau bekal mendaki di desa, terlebih yang datang berkendaraan roda dua. Desa-desa di sepanjang jalan menuju Tompo Bulu kini semakin ramai. Bukan hanya kios yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, melainkan juga rumah makan.
Sebagian halaman rumah warga disiapkan menjadi tempat parkir kendaraan. Bangku-bangku panjang juga disiapkan warga di halaman atau kolong rumah panggung mereka, terutama yang memiliki kios. Bangku-bangku ini menjadi tempat nongkrong para pendaki sebelum naik gunung atau istirahat setelah turun.
”Untuk warga yang halamannya digunakan sebagai tempat parkir, kami memberi imbalan atau berbagi biaya parkir. Jadi, banyak yang mendapat manfaat,” kata Arman.
Pengelola ekowisata juga menyiapkan jasa porter bagi pengunjung yang tak ingin membawa barang. Biaya porter berkisar Rp 150.000-Rp 250.000 per hari, tergantung berat dan jenis barang. Pekerjaan sebagai porter dilakukan sejumlah warga di sela kegiatan bertani atau aktivitas lain.(REN)