Kelembagaan Adat Dinilai Belum Siap Terbitkan SKTA
Surat Keterangan Tanah Adat merupakan awal mula pengakuan tanah adat sebelum disertifikasi. Namun, damang atau kepala adat sebagai pemegang kuasa keluarnya surat tersebut dinilai belum siap.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Surat Keterangan Tanah Adat merupakan awal mula pengakuan tanah adat sebelum disertifikasi. Namun, damang atau kepala adat sebagai pemegang kuasa keluarnya surat tersebut dinilai harus meningkatkan kompetensinya terkait urusan tanah adat.
Hal itu mengemuka pada Seminar Nasional bertema “Rekomendasi Percepatan Implementasi Kebijakan Penetapan dan Pengakuan Hutan Adat” di Universitas Palangka Raya (UPR), Kalimantan Tengah, Senin – Selasa (29-30/4/2019). Kegiatan itu diselenggarakan Yayasan Petak Danum Kalteng dan Yayasan Pusaka.
Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA) diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalteng Nomor 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalteng. Salah satu kewenangan dari damang diatur dalam Pasal 10 Ayat 1 huruf d. Di sana disebutkan damang bisa mengeluarkan SKTA untuk menjadi alat bukti hak atas tanah adat sesuai dengan undang-undang pokok agraria.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, penerbitan SKTA memunculkan beragam masalah. Salah satunya, damang tidak memiliki pengetahuan yang cukup dalam urusan tanah adat.
“Selama ini damang kerap dicari untuk mengurus konflik dan menggelar sidang adat. Mereka tidak begitu paham dalam persoalan tanah. Ini menjadi masalah. Sehingga seiring berjalannya waktu justru banyak masalah tumpang tindih dari penerbitan SKTA,” ungkap Yando Zakaria, peneliti dari Pusat Kajian Etnografi Hak Komunitas Adat (Pustaka) di sela-sela seminar tersebut.
Yando mengungkapkan, SKTA merupakan bentuk inisiatif positif dalam menangkap peluang perubahan hukum di tingkat nasional untuk kepentingan masyarakat adat. Namun, kelembagaan adat, dalam hal ini Dewan Adat Dayak, belum bisa memfasilitasi damang untuk menyelesaikan dan memahami persoalan tanah.
“SKTA malah jadi problem baru. Banyak lahan di Kalteng yang akhirnya berkonflik, entah dengan perusahaan atau bahkan dengan program pembangunan pemerintah,” ungkap Yando.
Data Wahana Lingkungan Hidup Kalteng menyebutkan, antara tahun 2005-2014 terdapat 265 kasus konflik agraria dengan total lahan sengketa mencapai 134.061 hektar di 14 kabupaten/kota. Sedangkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng mencatat, selama tahun 2016 sampai sekarang, terdapat 68 kasus konflik agrarian. Sebagian kasus terjadi meski warga yang berkonflik memiliki SKTA atau Surat Penunjukkan Tanah (SPT).
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Aslan Noor mengungkapkan, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya. Hal itu tercantum dalam Undang-Undang Pokok Agraria.
“SKTA maupun SKT harus merupakan bentuk awal menuju sertifikat. Intinya, harus didaftarkan maka pasti dilayani dan diterima,” kata Aslan dalam paparannya.
Menurut Aslan, penerbitan SKTA seharusnya tidak dibuat kepala adat. Tetapi, juga harus mengetahui dan disahkan kepala desa atau camat. “Kepala desa dan camat itu melegitimasi. Sedangkan kepala adat mengetahui, bukan dibalik,” kata Aslan.
Ketua Harian Wilayah Dewan Adat Dayak Provinsi Kalteng Mambang Tubil mengungkapkan, pihaknya berkomitmen membantu masyarakat adat untuk mendapatkan haknya. Ia percaya, mengembalikan hak tanah ulayat ke masyarakat adat bisa meminimalkan konflik agraria.
“Hanya saja benturannya sampai sekarang adalah RUU masyarakat adat belum disahkan pemerintah pusat,” ungkap Tubil.