MAKASSAR, KOMPAS— Banjir dan longsor di Sulawesi Selatan meluas ke tujuh kabupaten dalam lima hari. Di beberapa daerah, banjir disebut yang terparah dalam 10 tahun terakhir.
Bencana hidrometeorologis itu terjadi di Kabupaten Luwu Timur, Luwu Utara, Luwu, Toraja Utara, Tana Toraja, Enrekang, dan Wajo. Daerah lain, seperti Pinrang dan Sidenreng Rappang (Sidrap), juga terendam, tetapi segera surut.
Di Luwu Timur (Lutim), hingga Kamis (2/5/2019), 20 desa di 7 kecamatan terendam. Banjir merendam 2.890 rumah, fasilitas umum, dan sawah.
”Dari 20 desa di Lutim itu, ada yang sebelumnya tidak pernah banjir. Sebagian desa banjir pada 2012, tetapi sebentar lalu surut. Saat ini parah,” ujar Amri Mustari, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Luwu Timur.
Luwu Timur diapit banyak sungai yang meluap akibat hujan dalam satu minggu terakhir. Tujuh kecamatan terdampak parah banjir itu adalah Tomoni Timur, Wotu, Mangkutana, Kalaena, Angkana, Malili, dan Wasupanda.
Di perbatasan dengan Sulawesi Tengah, longsor terjadi di dinding tebing sisi jalan lintas provinsi. Jalur itu tersendat. Akibat banjir dan longsor, 2.890 keluarga yang terdiri atas 10.712 jiwa mengungsi ke sejumlah pengungsian yang ditetapkan BPBD setempat.
Di Tana Toraja, ratusan warga mengungsi setelah banjir dan longsor merendam. ”Di beberapa wilayah, longsor terus terjadi,” kata Alfian Andi Lolo, Kepala BPBD Tana Toraja. Di Enrekang, sejumlah ruas jalan penghubung antardesa dan kecamatan putus diterjang banjir bandang dan longsor. Warga menyebut, banjir ini terparah dalam 10 tahun terakhir.
Di Gresik, Jawa Timur, luapan Kali Lamong menerjang 18 desa di 4 kecamatan. Selain merendam ribuan rumah dan ratusan hektar sawah, banjir menewaskan dua orang. ”Banjir dipicu limpahan dari hulu di Mojokerto dan Jombang dan hujan tiga hari,” kata Kepala BPBD Gresik Tarso Sugito.
Antisipasi kebakaran
Di Kalimantan Tengah, fenomena musim kemarau diminta diantisipasi. Fenomena El Nino atau memanasnya suhu muka laut di Samudra Pasifik terus menguat.
Semakin kuat El Nino, semakin besar risiko kebakaran lahan dan hutan. Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Palangkaraya Anton Budiono mengungkapkan, saat ini El Nino masih pada kategori lemah.
April-Oktober 2019, fenomena itu akan menguat. ”Dengan indeks demikian, risiko kebakaran hutan dan lahan menjadi lebih tinggi,” kata Anton di sela lokakarya ”Mitigasi Menghadapi El Nino 2019 dengan Penguatan Ekonomi” yang diadakan Pemprov Kalteng bersama WWF Indonesia.
Kepala Subbidang Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana dan Pemadam Kebakaran (BPBPK) Alpius Patanan mengungkapkan, mitigasi bencana dilakukan dengan meningkatkan kapasitas masyarakat dan petugas. Dari sembilan risiko bencana di Kalteng, tiga di antaranya banjir, kebakaran hutan dan lahan, serta longsor.
”Kebakaran hutan dan lahan disebabkan manusia sehingga kapasitas, adaptasi, dan kesadaran masyarakat harus ditingkatkan,” kata Alpius dalam paparannya. (REN/ACI/IDO)