Cuaca ekstrem menyebabkan banyak bencana hidrometeorologi terjadi di awal 2019. Perbaikan tata ruang mendesak untuk mengurangi dampak bencana.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·2 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Cuaca ekstrem menyebabkan banyak bencana hidrometeorologi terjadi di awal 2019. Perbaikan tata ruang mendesak untuk mengurangi dampak bencana.
Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana, sejak awal tahun hingga akhir April, telah terjadi 1.586 bencana sepanjang 2019. Sebesar 98 persen merupakan bencana hidrometeorologi, seperti banjir, banjir bandang, dan longsor, sedangkan 2 persen bencana geologi. Bencana itu menyebabkan 438 jiwa meninggal dan hilang.
Jumlah bencana tersebut meningkat 7,16 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu dengan 1.480 kejadian. Sementara jumlah korban meninggal dan hilang meningkat 192 persen dibandingkan 2018 yaitu 150 orang.
Menurut Kepala Subbidang Mitigasi Gerakan Tanah Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Sumaryono, banyaknya korban bencana tidak hanya disebabkan anomali cuaca. Namun juga pemanfaatan ruang yang kurang tepat. Salah satunya, membangun permukiman di kawasan rawan bencana.
“Ke depan, penataan ruang harus berbasis kebencanaan. Hal ini sudah mulai digaungkan. Namun, tantangannya, tidak mudah memindahkan masyarakat karena sudah tinggal di kawasan itu turun-temurun,” ujarnya di Bandung, Jawa Barat, Minggu (5/5/2019).
Sumaryono menuturkan, banyaknya korban jiwa akibat bencana di awal 2019 didominasi banjir bandang dan longsor. Tiga bencana besar di antaranya terjadi di Sulawesi Selatan (22/1), Sentani, Papua (16/3), dan Bengkulu (27/4).
Selain sempadan sungai, kawasan mulut lembah juga patut diwaspadai. Sebab, lokasi itu menjadi saluran keluar air saat terjadi hujan lebat di hulu pegunungan atau perbukitan
Menurut Sumaryono, dalam sejumlah peristiwa banjir bandang, rumah korban berada di sempadan sungai. Hal ini yang sering menimbulkan korban dalam jumlah besar. Apalagi, jika terjadi pada malam atau dini hari saat warga sudah terlelap sehingga sulit diantisipasi.
“Jika di sempadan sungai tidak ada rumah, dampak bencana bakal berkurang. Banjir bandang tetap terjadi, tetapi tidak menghantam rumah dan merenggut korban,” ujarnya.
Selain sempadan sungai, kawasan mulut lembah juga patut diwaspadai. Sebab, lokasi itu menjadi saluran keluar air saat terjadi hujan lebat di hulu pegunungan atau perbukitan.
Sumaryono mengatakan, tidak mudah bagi pemerintah daerah mensterilkan lokasi rawan bencana dari warga. Keterbatasan ekonomi dan riwayat tinggal turun-temurun membuat warga betah dan cenderung enggan berpindah.
“Kalau tidak bisa dipindahkan, minimal huniannya tidak bertambah. Pemerintah daerah harus mengendalikan pemanfaatan lahan di kawasan itu,” ujarnya.
Sumaryono menyampaikan, warga di sekitar bantaran juga perlu mewaspadai penyempitan sungai. Penyempitan membuat aliran air dari hulu semakin deras. Hal ini sering memicu tanggul jebol sehingga air meluap dan menyapu permukiman warga.