Opini Kecurangan Pemilu Berpotensi Koyak Persatuan Warga
Perbedaan pilihan politik perlu ditanggalkan guna kembali merajut persatuan bangsa pasca-Pemilu 2019. Elite politik diharapkan bisa menerima apa pun hasil pemilu tanpa membangun opini publik soal kecurangan yang bisa memicu lagi terbelahnya masyarakat.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Perbedaan pilihan politik perlu ditanggalkan guna kembali merajut persatuan bangsa pasca-Pemilu 2019. Elite politik diharapkan bisa menerima apa pun hasil pemilu tanpa membangun opini publik soal kecurangan yang bisa memicu lagi terbelahnya masyarakat.
Hal itu terungkap dalam ”Seruan Moral dari Bulaksumur untuk Persatuan Bangsa” yang diadakan di Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (6/5/2019).
Seruan moral itu dilakukan akademisi dan rektor dari sejumlah universitas di Yogyakarta. Turut hadir Wakil Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta Brigadir Jenderal (Pol) Bimo Anggoro Seno dan Komandan Komando Resor Militer 072/Pamungkas Brigadir Jenderal (TNI) Muhammad Zamroni.
Seruan diinisiasi sejumlah dosen UGM, yakni Abdul Gaffar Karim (dosen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM), Wawan Mas’udi (Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fisipol UGM), Arie Sujito (dosen Sosiologi UGM), dan Edward Omar Sharif Hiariej (Guru Besar Hukum Pidana UGM).
Lewat seruan moral itu, akademisi ingin mengajak semua anak bangsa berkepala dingin dan bersabar menunggu hasil penghitungan akhir Komisi Pemilihan Umum (KPU). Adanya klaim kemenangan dari tiap pihak yang berkontestasi justru memunculkan persoalan. Terlebih, munculnya upaya mendelegitimasi pemilu dengan mempersoalkan kredibilitas penyelenggara.
”Demokrasi harus mempersatukan kita, tidak mengotak-ngotakkan. Setelah penghitungan akhir selesai, pada 22 Mei nanti, kita tidak lagi bicara 01 dan 02. Tetapi, bicara tentang sila ke-3 Pancasila, Persatuan Indonesia. Kita harus mengedepankan persatuan supaya bisa terus maju,” tutur Rektor UGM Panut Mulyono.
Panut menilai, Pemilu 2019 telah berlangsung aman, tertib, damai, jujur, dan adil. Hal itu patut disyukuri bersama. Kekhawatiran akan konflik horizontal karena perbedaan preferensi politik tak terjadi. Masyarakat pun mendukung penuh proses demokrasi karena telah memberikan suaranya.
”Sekarang, kami berharap suara yang telah diberikan dihitung secermat-cermatnya. Kami selalu memonitor hasilnya, mencermati proses penghitungannya, dan ketika diumumkan mesti dihormati bersama-sama,” kata Panut.
Arie Sujito menyatakan, masyarakat pada tingkatan akar rumput sebenarnya telah kembali menjalin persaudaraan setelah sempat berbeda pandangan politik. Namun, seolah terdapat provokasi yang dilakukan kelas menengah dan para elite politik untuk terus mempertanyakan proses pemilu.
”Situasinya sangat provokatif. Saya khawatir akan ada yang dibenturkan. Kalau kelas menengah (dan elite politik) itu mempropaganda dan memobilisasi. Bukan mustahil terjadi pembelahan di masyarakat,” ujar Arie.
Wawan Mas’udi menyebutkan, ada tantangan kuat untuk mendelegitimasi pemilu. Hal itu berlangsung sejak pertengahan 2018 melalui berbagai sebaran kabar bohong.
Ada tantangan kuat untuk mendelegitimasi pemilu. Hal itu berlangsung sejak pertengahan 2018 melalui berbagai sebaran kabar bohong.
”Belakangan, kami melihat upaya membangun distrust atau ketidakpercayaan atas semua sistem dan hasil pemilu. Ini menjadi persoalan yang semakin serius. Mari berdemokrasi dengan aturan main bersama,” kata Wawan.
Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta Edy Suandi Hamid menyatakan, jika ada keberatan terhadap hasil pemilu, hendaknya elite politik menempuh jalur konstitusi. Ruang untuk menyampaikan ketidakpuasan itu sangat terbuka. Jangan sampai menggunakan jalur yang tidak sesuai konstitusi dan justru menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
Terkait hal itu, Arie menyatakan, pendidikan politik terhadap masyarakat harus terus dilakukan. Elite politik juga diminta bersikap bijak dengan tidak menebar hal-hal yang berpotensi menimbulkan pembelahan di masyarakat.
”Demokrasi itu punya konsekuensi. Pasti ada menang dan kalah. Jangan membayar mahal dengan konflik dan kekerasan. Rakyat itu lelah. Kami ingin mengajak elite politik menahan diri agar tidak terjadi eskalasi konflik,” tutur Arie.
Sementara itu, Abdul Gaffar Karim mengatakan, elite politik harus menyudahi persaingan yang berlarut-larut dalam pemilu. Saat ini, mereka perlu memastikan proses demokrasi berjalan dengan baik sehingga menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan kehendak masyarakat.