Rasidi (36) tampak galau. Lelaki asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, ini ingin tetap bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia, tetapi izin tinggal (permit)-nya habis masa berlakunya tahun 2018.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·6 menit baca
Rasidi (36) tampak galau. Lelaki asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, ini ingin tetap bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia, tetapi izin tinggal (permit)-nya habis masa berlakunya tahun 2018.
Sebelum izin tinggalnya habis, ia mengurus sambung permit meski Jabatan Imigresen Malaysia menyatakan data identitasnya hilang, bahkan ia mendapat surat check up memo alias keluar dari Malaysia. Padahal, data permit sebelumnya merujuk paspor yang masih dikantonginya.
Bayang-bayang ditangkap Polisi Diraja Malaysia dan deportasi mengurungkan niatnya mengurus lagi izin sambung tinggal. Ia memilih fokus tetap bekerja memetik kelapa sawit, apalagi sang majikan membutuhkan tenaganya, juga Rasidi dinilai rajin dan terampil bekerja oleh bosnya.
Permit menjadi pertanyaan buruh migran saat berdialog dengan Kepala Dinas Perdagangan NTB Selly Handayani dan Kepala Biro Organisasi Setda NTB Nuraulia melawat ke ladang perkebunan kelapa sawit Estet Rubber Institute Small Holder Development Authority/Risda Srigala Kuala Slim, Negara Bagian Perak, Malaysia, pada Minggu (24/2/2019).
”Itulah (permit) persoalan kami. Sebagian besar sudah habis masa berlakunya sehingga statusnya gelap (ilegal). Kami minta dicarikan solusi. Bila teman-teman kami ada yang ilegal karena kesulitan mendapatkan permit, tolong ’diputihkan’ agar mereka tenang bekerja,” kata Abdul Hamid (41), buruh di Risda, warga Desa Embung Basari, Lombok Timur.
Di Risda ada 56 pekerja asal Indonesia dan 35 orang asal Lombok, sisanya dari Dumai, Medan, dan Bengkalis. Dari 35 TKI asal Lombok, hanya 10 orang yang mengantongi permit.
Penasihat Masyarakat Lombok Malaysia (Maslom), H Mahsun, mengharapkan kedatangan Gubernur NTB Zulkieflimansyah dan Kepala Dinas Tenaga Kerja Agus Patria ke rumahnya di Kampung Kurnia, Jalan Hospital Slim River, Perak, Senin (25/2/2019), untuk mendialogkan berbagai hal seperti kuota tenaga kerja asal NTB untuk Malaysia dan solusi memperoleh permit bagi TKI.
Itulah (permit) persoalan kami. Sebagian besar sudah habis masa berlakunya sehingga statusnya gelap (ilegal). Kami minta dicarikan solusi. Bila teman-teman kami ada yang ilegal karena kesulitan mendapatkan permit, tolong ’diputihkan’ agar mereka tenang bekerja.
Namun, keinginan tidak tersampaikan. Kepala Dinas Tenaga Kerja NTB Agus Patria hanya berbicara soal normatif. ”Izin tinggal adalah kewenangan Pemerintah Malaysia,” ucapnya.
Ia berjanji, soal permit itu akan dibicarakan saat bertemu dengan pengurus Angkatan Koperasi Kebangsaan Malaysia Berhad (Angkasa) dan PJTKI di Lombok. Agus mewakili Pos Tenaga Kerja NTB menandatangani persepahaman dengan Angkasa, Selasa, 26 Februari 2019.
Belum diketahui isi persepahaman itu, Namun, yang jelas, keterangan yang dihimpun Kompas menyebutkan, TKI yang tinggal bekerja di Malaysia bisa dipermudah mengurus permit ke Imigrasi Malaysia. Izin tinggal itu berlaku setahun dan diperbarui selama TKI ingin bekerja dan dibutuhkan perusahaan. Mereka tidak ingin berstatus sebagai pekerja asing tanpa identitas (PATI).
Tertipu agen
Banyak TKI berangkat lewat jalur resmi ke Malaysia meski kemudian menjadi ilegal karena tertipu agen, majikan, dan tekong. Gaji pada informasi awal dan realitas di tempat kerja tidak sesuai janji, yang menimbulkan percekcokan dengan majikan. Akibatnya, mereka kabur dari satu tempat ke tempat kerja lain. Sementara dokumen administrasinya ditahan oleh orang yang membawanya ke Malaysia. Tanpa dokumen sah, mereka ”diperjualbelikan” dan diperlakukan secara tidak manusiawi.
Gubernur NTB Zulkieflimansyah saat bertemu Rusdi Kirana, Duta Besar Indonesia di Malaysia, mestinya membicarakan kemudahan TKI memperoleh permit. Rusdi mengatakan, TKI asal NTB tidak mengalami banyak masalah, lalu mengutarakan bantuan pendidikan bagi anak-anak TKI di sentra kelapa sawit. Selebihnya, Rusdi (pemilik Lion Air) dan Zulkieflimansyah berbicara tentang pariwisata yang sepi kunjungan wisatawan pascagempa Lombok, harga tiket mahal, dan bagasi berbayar.
Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Malaysia memiliki kepentingan dengan keberadaan buruh migran. Malaysia menjadikan buruh migran sebagai ujung tombak untuk memenuhi ekspektasi industri kelapa sawit.
Adapun Indonesia, khususnya Pemprov NTB, berkepentingan menekan angka kemiskinan dan pengangguran di tengah terbatasnya kesempatan kerja di dalam negeri.
Menurut M Izra Yusman, pejabat Risda Kuala Slim, persoalan yang dialami TKI perlu dicarikan solusinya agar masalah tidak berlarut-larut. Apalagi pengelola perkebunan kelapa sawit seperti Risda dan Felda (the Federal Land Development Authority) membutuhkan tenaga kerja asing. Di Risda dengan luas 2.000 hektar, tercatat ada 54 TKI dari total 110 pekerja yang diperlukan.
Dari ke-54 pekerja itu, 35 pekerja berasal dari Lombok, sisanya dari Dumai dan Bengkalis. Ia membutuhkan 44 pekerja di Estet Risda. Kekurangan itu ditargetkan ditutupi pekerja asal Lombok. ”Itu baru satu estet dari total 24 estet di Malaysia,” ucapnya. Dengan luas areal perkebunan berskala kecil, diperlukan 600-700 pekerja.
Yusman menginginkan pekerja berusia 40 tahun karena rajin dan memiliki daya juang tinggi dan berhasil mengumpulkan upah lebih tinggi. Sementara pekerja berusia di bawah 40 tahun umumnya bekerja seadanya dan lebih royal belanja jika mendapat upah.
Pekerja berusia 40 tahun rajin dan memiliki daya juang tinggi dan berhasil mengumpulkan upah lebih tinggi. Sementara pekerja berusia di bawah 40 tahun umumnya bekerja seadanya dan lebih royal belanja jika mendapat upah.
”Kalau sudah dapat upah, mereka pergi ke kedai-kedai dan belanja dekat sini,” ujarnya.
Risda memberi waktu libur tiap Jumat bagi pekerjanya. Adapun ukuran sukses bagi pekerja dinilai dari upahnya sebulan di atas 1.100 RM dibandingkan dengan upah rata-rata-rata 700 RM.
Hal senada dikatakan Jepri asal Lombok yang bekerja sebagai sopir taksi dan tinggal 30 tahun di Kuala Lumpur soal pilihan estet merekrut tenaga kerja asal Lombok yang memiliki spesialisasi bekerja di ladang sawit.
Urat dawai
Indikasinya, Jepri menunjuk hamparan ladang sawit di kiri-kanan jalan tol Lebuh Raya Shah Alam, jalan tol Asean Highway/AH—rute Malaysia-Thailand— menuju Ipoh, Negeri Bagian Perak dan Selangor. ”Ladang-ladang sawit yang luas ini antara lain sumbangsih TKI Lombok karena orang Malaysia bilang TKI Lombok punya urat dawai tulang besi,” ujar Jepri.
Sebagai contoh Abdul Hamid, asal Lombok Timur, yang 20 tahun menjadi buruh perkebunan kelapa sawit di Risda. Ia bersama lima anggota kelompoknya bisa mengumpulkan 50 ton buah kelapa sawit sebulan dengan upah 2.000 RM. Ia juga memiliki keterampilan keahlian sebagai tukang bangunan. Ada delapan rumah yang dikerjakannya bersama sesama TKI, yang dijadikan asrama pekerja di Risda.
Upah membuat rumah berukuran 20 meter x 20 meter sebesar 24 RM, atau 9.600 RM (setara dengan Rp 33.609.600 dengan kurs Rp 3.501 per 1 RM). Istrinya juga bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kuala Lumpur. Dengan penghasilan itu, Hamid enggan pulang, apalagi upah buruh bangunan di desanya Rp 80.000 sehari, yang habis dibelanjakan untuk keperluan makan-minum tiap hari, meski bekerja di ladang sawit nyawanya pernah terancam. Ketika istirahat bekerja, sabit yang tergantung di atas pohon sawit jatuh menimpa dada kirinya.
Begitu pun Iswandi (32), asal Desa Apit Aik, Lombok Timur, yang sudah bekerja 10 tahun di Risda Kuala Slim. Ia mengaku betah bekerja di Risda karena merasa nyaman, aturannya lebih longgar, dan disediakan asrama. Ia bekerja pukul 08.00-17.00 memanen kelapa sawit di areal seluas 56 hektar (1 ha = 140 pohon).
Ia bersama tiga rekannya bertugas di Divisi A selama 15 hari sebulan dan mampu mengumpulkan 2 ton sehari dengan upah 76 RM. Dengan fasilitas dan upah yang didapat, wajar Iswandi betah bekerja di Risda.
Abdul Hamid dan Iswandi pun bebas mengisi cuti kerja karena memiliki permit. Namun, Rasidi dan yang lain mungkin tersandera dan takut keluar dari areal perkebunan, lalu diciduk Polisi Diraja Malaysia dengan tuduhan sebagai PATI.