Perhotelan Bali Percontohan Kesiapsiagaan Bencana Alam
Perhotelan di Bali, menjadi percontohan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam di Indonesia. Hal ini terkait utamanya mendukung dan mempersiapkan industri pariwisata yang berlokasi di daerah rawan bencana alam.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·4 menit baca
Diskusi Kesiapsiagaan Bencana Sektor Perhotelan untuk Industri Pariwisata, di Gedung BNPB, Jakarta, Senin (6/5/2019).DENPASAR, KOMPAS – Perhotelan di Bali, menjadi percontohan kesiapsiagaan menghadapi bencana alam di Indonesia. Hal ini terkait utamanya mendukung dan mempersiapkan industri pariwisata yang berlokasi di daerah rawan bencana alam.
Beberapa lokasi obyek wisata di Indonesia, berada di wilayah-wilayah yang rawan bencana alam. Salah satunya adalah Jawa Barat yang beberapa kawasan seperti di Lembang, berada tepat di atas sesar (patahan). Karenanya, Bali diharapkan mampu menjadi salah satu magnet bagi hotel serta pelaku pariwisata yang sadar mengenai kebencanaan.
"Bali terus berbenah dan belajar dari erupsi Gunung Agung, pada bulan November 2017, lalu. Bagaimana Bandara Internasional Ngurah Rai sempat tutup tiga hari karena terpapar abu. Maka, kesiapsiagaan menghadapi bencana alam menjadi sangat penting. Hal ini demi kenyamanan wisatawan yang datang ke Bali, tidak perlu khawatir jika tiba-tiba terjadi bencana alam, terutama kekhawatiran terpapar abu vulkanik letusan Gunung Agung,” kata Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali Made Rentin, di Denpasar, Rabu (8/5/2019).
Rentin mengatakan, pada Senin (6/5/2019), ia bersama Managing Director ITDC Gusti Ngurah Ardika dan Ketut Sutaraja dari Hardrock Hotel Kuta mengisi acara Diskusi Kesiapsiagaan Bencana Sektor Perhotelan untuk Industri Pariwisata, di Gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta. Dalam acara itu, Bali menjadi contoh yang dianggap berhasil memaksimalkan kesiapsiagaan bencana yang didukung sejumlah pelaku pariwisata.
Bali terus berbenah dan belajar dari erupsi Gunung Agung, pada bulan November 2017, lalu. Bagaimana Bandara Internasional Ngurah Rai sempat tutup tiga hari karena terpapar abu.
Karenanya, ia berupaya mendorong seluruh hotel di Bali, memiliki sertifikat kesiapsiagaan. Rentin mengatakan yang juga dijelaskan pada diskusi tersebut adanya empat komponen pendekatan yang dilakukan untuk mengelola dunia pariwisata di Bali, agar siapa pun yang datang berlibur itu nyaman dan selamat.
"Empat pendekatan strategis yang kita gunakan untuk mengelola pariwisata Bali, pertama security, menjelaskan bahwa Bali itu aman. Kedua safety Bali itu nyaman, ketiga sure memberi keyakinan bahwa Bali itu pasti aman dan nyaman. Dan terakhir keempat adalah peace bahwa Bali itu penuh kedamaian,” jelas Rentin.
Selalu siap siaga
Pemerintah Provinsi Bali mendeklarasikan Hari Simulasi Bencana tanggal 26 setiap bulannya. Hal ini dilakukan untuk melatih diri untuk selalu siap siaga. "Jadi setiap tanggal 26 tiap bulan, semua komponen pada semua tingkatan, termasuk instansi pusat yang ada di Bali, dan sampai ke tingkat terbawah, bersama-sama atau dilingkungan keluarga melaksanakan simulasi evakuasi bencana di tempatnya masing-masing," ungkapnya.
Sertifikasi kesiapsiagaan di Bali memiliki mekanisme, tahapan, prosedur dan proses bagi sebuah hotel. BPBD Bali memiliki tim yang beranggotakan sejumlah lembaga mulai dari BMKG, SAR, TNI, Polri. Prosesnya berlangsung sektiar satu bulan dan tidak berbayar.
Managing Director ITDC Gusti Ngurah Ardika ketika di diskusi tersebut, kata Rentin, menjelaskan hotel di kawasan ITDC telah memiliki sertifikat kesiapsiagaan bencana. Selanjutnya, mulai bulan Mei ini, hotel di ITDC, Nusa Dua, diwajibkan membuat display video singkat safety breafing pada layar TV di tiap kamar hotel, sehingga turis masuk ke kamar hotel, langsung disajikan peringatan kesiapsiagaan, posisi, termasuk jalur evakuasi.
Kepala BNPB Doni Monardo dalam pembukaan diskusi tersebut seperti ditulis rilis BNPB, mengatakan pariwisata ini merupakan lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional.
Industri pariwisata diakui memberikan total nilai devisa nasional hingga Rp 190 triliun pada tahun 2018. Jumlah ini menempatkan pariwisata pada posisi kedua setelah penerimaan devisa hasil ekspor kelapa sawit, yang mencapai Rp 239 triliun.
Namun demikian, Doni menyampaikan bahwa Indonesia juga kawasan rawan terhadap potensi bencana alam. Menurutnya, suka tidak suka, senang tidak senang, sejumlah lokasi wisata berada di kawasan rawan ini.
“Dunia pariwisata harus memahami penanggulangan bencana seperti tren bencana yang meningkat. Ini bisa dijadikan refleksi untuk pengelolaan pariwisata untuk beradaptasi dengan perubahan ini,” ujar Doni.
Doni menyampaikan bahwa pelaku pariwisata memiliki peran penting dalam penanggulangan bencana. Melalui upaya prabencana, pengelola pariwisata dapat memberikan informasi kepada wisatawan atau pun melatih kesiapsiagaan para pekerjanya.
Doni juga menawarkan kepada para pelaku pariwisata untuk melakukan upaya mitigasi vegetasi terhadap hotel atau penginapan di dekat kawasan pantai, seperti penanaman pohon yang berfungsi mengurangi dampak tsunami.
Diskusi ini bertujuan untuk saling bertukar pengalaman dan berbagai pengetahuan sehingga pemahaman para pelaku industri pariwisata dalam membangun kesiapsiagaan. Selain itu, kegiatan ini dilakukan dalam rangka pertukaran informasi, memperkuat aspek penyelamatan jiwa, sistem pengelolaan dan berkembangan usaha pariwisata dan perhotelan.
Forum LUPB
Selain mendiskusikan pariwisata berkelanjutan yang mendukung mitigasi bencana, BNPB mengukuhkan kepengurusan Forum Lembaga Usaha Penanggulangan Bencana (LUPB). Pembentukan kepengurusan ini perlu sebagai peningkatan kapasitas dunia usaha untuk membangun kesiapsiagaan bencana untuk melindungi bisnis dan karyawan atau pegawai.
Bagaimana pun juga keterlibatan lembaga usaha sangat penting mendukung BNPB dalam bersama-sama melaksanakan aksi pengurangan risiko bencana di seluruh Indonesia
Direktur Pemberdayaan Masyarakat BNPB Lilik Kurniawan mengatakan industri pariwista bagian dari lembaga usaha ini. “Bagaimana pun juga keterlibatan lembaga usaha sangat penting mendukung BNPB dalam bersama-sama melaksanakan aksi pengurangan risiko bencana di seluruh Indonesia,” katanya.
Lilik menjelaskan keuntungan bergabung dalam forum ini guna membangun jejaring dan koordinasi seluruh lembaga usaha, sinergi program, berbagi pengetahuan dan pengalaman, hingga bersama-sama memetakan kapasitas sumber daya yang dimiliki.
Selama ini, beberapa lembaga sudah terlibat mendukung ketika terjadi bencana di suatu daerah. Kedepannya, ujar Lilik, lembaga usaha perlu terlibat prabencana, tanggap bencana, dan paskabencana.