BANDA ACEH, KOMPAS - Di Provinsi Aceh sebagian besar satwa lindung berada di luar kawasan konservasi akibatnya keselamatan mereka terancam dampak dari aktivitas manusia. Oleh karena itu, kawasan yang di dalamnya terdapat satwa lindung perlu ditetapkan sebagai kawasan khusus.
Kepala Balai Sumber Daya Konservasi Alam (BKSDA) Aceh Sapto AJi Prabowo, di Banda Aceh, Kamis (8/5/2019) menuturkan di Aceh ada empat species kunci yang terancam punah yaitu gajah, harimau, orangutan dan badak. Kata Sapto, diperlukan upaya serius semua pihak melindungi satwa itu.
Kata Sapto, bulan lalu BKSDA Aceh bersama Dinas Kehutanan Aceh, dan LSM lingkungan menentukan enam kantong populasi gajah yang akan ditetapkan sebagai kawasan esensial konservasi. Penetapan sebagai kawasan khusus karena kantong gajah itu berada pada kawasan budidaya atau area pengguna lain (APL).
Ke enam kawasan esensial itu berada di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, Bener Meriah, Aceh Jaya, Pidie, dan Subulussalam. Nantinya kawasan itu akan dikelola dengan mengedepankan kepentingan perlindungan satwa. Misalnya, pola perkebunan harus menyesuaikan dengan karakteristik satwa di dalamnya.
“Kalau di kawasan ada gajah, tidak boleh ditanami sawit karena itu justru menjadi makanan kesukaan gajah,” kata Sapto.
Selain menetapkan kawasan khusus, saat ini pada kantong habitat gajah dibuat barrier atau parit agar gajah tidak masuk ke perkebunan warga. Parit buatan digali sedalam tiga meter lebar tiga meter disesuaikan dengan parit alami. Pembuatan parit dilakukan di Aceh Jaya, Aceh Timur, dan Bener Meriah.
Kalau di kawasan ada gajah, tidak boleh ditanami sawit karena itu justru menjadi makanan kesukaan gajah
Data 2016, jumlah gajah di Sumatera sebanyak 1.724 individu, 539 individu di antaranya berada di Aceh. Kata Sapto, pantauan timnya di lapangan, ada beberapa anak gajah yang baru lahir itu menandakan ada penambahan populasi. Namun, pada 2017 – 2018 jumlah gajah yang mati di Aceh sebanyak 24 individu. Bangkai gajah yang mati umumnya ditemukan di kawasan perkebunan warga.
Pembuatan kawasan khusus untuk konservasi badak juga sedang dikaji. Kata Sapto, populasi badak di Aceh, di luar Taman Nasional Gunung Leuser, sebanyak enam individu. “Nanti akan dibuat santuari (marga satwa) badak di kawasan Aceh Timur. Kondisinya saat ini benar-benar terancam punah,” kata Sapto.
Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser Adi Nurul Hadi mengatakan di Leuser diperkirakan populasi badak terdapat 16 individu. Pihaknya rutin melakukan patroli untuk menghalau masuknya pemburu.
Perburuan satwa
Sementara populasi harimau di Aceh diperkirakan sebanyak 150 – 200 individu. Perburuan satwa untuk diperdagangkan dan pengrusakan habitat membuat harimau di Aceh dalam kondisi kritis.
Kata Sapto, selain pembuatan kawasan khusus, tata kelola kawasan, pihaknya juga meningkatkan patroli di kantong-kantong satwa lindung. “Kami perlu dukungan lintas sektor untuk melindungi satwa di Aceh,” ujarnya.
Direktur Pusat Kajian Satwa Liar Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Wahdi Azmi mengatakan pemasangan GPS collar salah satu solusi menekan konflik satwa. Cara lain yang juga harus diterapkan, kata Wahdi membuat barrier atau parit pembatas. Saat ini parit pembatas yang sedang dibangun terletak di Aceh Jaya dan Bener Meriah.
Namun kata Wahdi, pemanfaatan ruang yang keliru telah memicu laju konflik satwa. Ruang habitat satwa banyak dialihfungsi menjadi perkebunan sawit dan perkebunan warga. Pola perkebunan yang keliru juga memicu konflik satwa.
Koordinator pemantauan Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Fahlevi, mengatakan, gajah termasuk satwa lindung yang paling diburu. Selama Januari-Juni 2018, tim patroli FKL menemukan 497 jerat yang diduga dipasang pemburu untuk menjerat satwa lindung di kawasan ekosistem Leuser. Jerat berupa baja sling ukuran besar dan kecil. Perangkap burung dan papan yang ditancapi paku untuk menjebak gajah juga ditemukan.