Belum ada solusi konkret dari Dinas Pendidikan Kepulauan Riau untuk mengatasi persoalan minimnya terapis bagi anak dengan autisme. Jalan keluar yang ditawarkaan sebatas sikap pasif bergantung pada datangnya pelamar dengan motivasi tinggi untuk melayani.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
BATAM, KOMPAS — Belum ada solusi konkret dari Dinas Pendidikan Kepulauan Riau untuk mengatasi persoalan minimnya terapis bagi anak dengan autisme. Jalan keluar yang ditawarkaan sebatas sikap pasif bergantung pada datangnya pelamar dengan motivasi tinggi untuk melayani.
Kepala Dinas Pendidikan Kepulauan Riau Muhammad Dali, Rabu (8/5/2019), mengatakan, putra daerah yang telah rampung mengenyam pendidikan layanan khusus agar bergabung di Pusat Layanan Autis (PLA). Dengan begitu, diharapkan kebutuhan terapis dapat terpenuhi dan penanganan anak dengan autisme berjalan optimal.
”Selain itu, sedang dirancang program beasiswa bagi tenaga nonterapis di PLA untuk mengikuti program pendidikan layanan khusus di sejumlah perguruan tinggi mitra. Tujuannya, agar mereka dapat memiliki kompetensi sebagai terapis,” kata Dali.
Terapis di PLA Kepulauan Riau berjumlah tujuh orang, yang terdiri dari terapis integrasi, okupasi, dan perilaku. Adapun tugas terapis wicara dirangkap salah satu petugas yang sebenarnya tidak memiliki kompetensi di bidang itu.
Selain itu, sedang dirancang program beasiswa bagi tenaga nonterapis di PLA untuk mengikuti program pendidikan layanan khusus di sejumlah perguruan tinggi mitra. Tujuannya, agar mereka dapat memiliki kompetensi sebagai terapis.
Saat masih dikelola Pemerintah Kota Batam, ada 14 terapis yang bekerja di PLA. Setelah diambil alih Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau pada 2017, separuh dari jumlah terapis mundur karena gaji mereka dirasa tidak sebanding dengan kebutuhan hidup.
”Terapis itu hidup di Batam, tetapi dibayar dengan standar Kepulauan Riau pada umumnya. Itulah alasan mereka mundur,” kata Kepala PLA Kepulauan Riau Riniatun.
Pindah kerja
Peralihan pengelolaan dari Pemkot ke Pemprov membuat upah mereka turun dari sebelumnya di atas Rp 3,5 juta menjadi sekitar Rp 2,5 juta. Hal itu membuat sejumlah terapis memilih pindah bekerja di tempat terapi swasta yang menawarkan kesejahteraan lebih baik.
Mundurnya sejumlah tenaga terapis itu berdampak pada penurunan kapasitas penanganan hingga setengahnya. Saat ini tercatat ada 52 anak yang menjalani terapi di PLA Kepulauan Riau. Jika jumlah terapis memadai, fasilitas itu bisa menangani sekitar 100 anak.
Rini berharap Pemprov segera mengambil langkah strategis untuk memperbaiki kesejahteraan terapis agar pelayanan bisa kembali optimal. ”Untuk soal kesejahteraan, wewenang sepenuhnya berada di tangan Pemprov,” ujarnya.
Dali mengatakan, upah yang diberikan bagi terapis yang bekerja di PLA Kepulauan Riau sudah lebih besar daripada upah guru honorer pada umumnya. Ia berpendapat, para terapis seharusnya memaknai profesi itu bukan sebagai pekerjaan, melainkan kesempatan melayani.
Menurut dia, penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus mendapat perhatian khusus di provinsi tersebut. Untuk itu, ia mengimbau para terapis yang bekerja di PLA Kepulauan Riau untuk tidak khawatir dan tetap fokus menjalankan tugasnya.