Dewan Pers mengingatkan dan mengimbau agar media jangan mengejar sensasi dalam pemberitaan, terutama pasca-pemilihan umum. Media perlu mempertimbangkan dan menyaring baik-baik sebelum menjadikan pemberitaan tersebut sebagai konsumsi publik.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Dewan Pers mengingatkan dan mengimbau agar media jangan mengejar sensasi dalam pemberitaan, terutama pasca-pemilihan umum. Media perlu mempertimbangkan dan menyaring baik-baik sebelum menjadikan pemberitaan tersebut sebagai konsumsi publik.
Imbauan ini merupakan bagian dari menjaga situasi dan kondisi masyarakat Indonesia seusai pelaksanaan pemilihan umum serentak pada 17 April lalu. Pemberitaan diharapkan menjadi jurnalisme presisi yang menjadikan fakta, hasil riset, dan data sebagai basisnya.
”Pers semestinya dapat menjadi pengawas, penafsir, dan penghubung. Masyarakat berhak mendapatkan pemberitaan yang benar dan bukan mengejar sensasi semata tanpa mampu memperlihatkan fakta-faktanya. Karena itu, pasca-pemilu serentak, media massa dapat menjadi penyejuknya,” kata Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo pada Workshop Peliputan Pasca-Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden oleh Media di Denpasar, di Hotel Prime Plaza, Sanur, Denpasar, Bali, Kamis (9/5/2019).
Ia menjelaskan betapa penting pelaksanaan pemilu serentak 2019 ini karena beberapa hal, di antaranya perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi sehingga penting sebagai pendidikan politik rakyat yang langsung, bebas, terbuka, dan massal. Karena itu, media massa perlu menjadi kontrol, pengawas, serta bacaan yang mencerdaskan warga dalam kancah politik.
Pers semestinya dapat menjadi pengawas, penafsir, dan penghubung. Masyarakat berhak mendapatkan pemberitaan yang benar dan bukan mengejar sensasi semata tanpa mampu memperlihatkan fakta-faktanya. Karena itu, pasca-pemilu serentak, media massa dapat menjadi penyejuknya.
”Bagaimanapun, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar ketiga dunia setelah India dan Amerika Serikat. Kami menganggap pemilu Indonesia merupakan yang paling rumit pelaksanaannya di seluruh dunia. Lebih dari 500 petugas pemilu meninggal karena kelelahan tahun ini,” ujar Yosep.
Sementara Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bali I Dewa Agung Gede Lidartawan mengakui, media massa masih memiliki pengaruh dalam pelaksanaan pemilu dari tahap awal hingga akhir. Ia setuju jika media massa perlu menjauh dari pemberitaan sensasional, terutama mengenai apa pun persoalan pemilu serentak ini.
Media massa diharapkan Lidartawan benar-benar seimbang dan akurat dalam segala pemberitaan yang memuat kritik ataupun saran. ”Saya sebagai (anggota) KPU Bali terbuka menerima informasi apa pun dari media. Justru jika medianya menjalankan dengan baik, KPU Bali merasa terbantu dengan segala informasi yang didapat media. Apa pun yang KPU kerjakan, percayalah demi transparansi,” ujarnya.
Tudingan penggelembungan
Ia menceritakan pengalamannya dalam menghadapi segala pertanyaan, termasuk tudingan penggelembungan suara. Ia menilai, pemilu tahun ini sangat berat dan menguras tenaga. Konsentrasinya sempat terganggu ketika beberapa media menuding KPU kedapatan menggelembungkan suara.
Terkait hal itu, berdasarkan data rekap sementara yang setelah ditelusuri petugas, terdapat kesalahan memasukkan data. ”Tetapi pada (rapat) pleno rekapitulasi terakhir di Bali, semua sudah tuntas dan suara dengan kertas suara dan pencatatan selesai,” ujarnya.
Yosep menuturkan, ia bersama tim berkeliling di 14 provinsi dan Bali, provinsi ketiga yang didatanginya untuk mengajak media massa turut memberikan pemberitaan yang sejuk pasca-pelaksanaan pemilu serentak. Ia menyadari, pelaksanaan pemilu dapat memicu perpecahan jika tidak dijaga bersama, termasuk oleh media massa.
Selain itu, peran media juga mengingatkan janji kampanye calon presiden-wakil presiden serta para calon anggota legislatif. Melalui narasi di pemberitaan media massa, ia berharap janji-janji kampanye tidak ada yang palsu.
Bahkan, Lidartawan berencana mengusulkan agar para caleg memanfaatkan media massa untuk membeberkan latar belakang serta visi-misi. Dan, hal tersebut membantu masyarakat agar tidak memilih kucing dalam kantung. Kontroversi tanpa foto caleg di lembar pemilihan kembali mencuat dan memerlukan riset lebih lanjut.