Kematian Petugas Pemilu 2019 Perlu Kajian Lintas Disiplin
Persoalan meninggalnya petugas penyelenggara pemilu 2019 di beberapa daerah tidak bisa dianggap sebagai hal yang wajar. Kajian lintas disiplin ilmu pengetahuan diperlukan untuk mengungkap penyebab dari peristiwa tersebut. Lewat cara itu dapat diperoleh rekomendasi yang komprehensif guna memperbaiki penyelengggaraan pemilu dalam waktu mendatang.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS - Persoalan meninggalnya petugas penyelenggara pemilu 2019 di beberapa daerah tidak bisa dianggap sebagai hal yang wajar. Kajian lintas disiplin ilmu pengetahuan diperlukan untuk mengungkap penyebab dari peristiwa tersebut. Lewat cara itu dapat diperoleh rekomendasi yang komprehensif guna memperbaiki penyelengggaraan pemilu dalam waktu mendatang.
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga 4 Mei 2019, petugas Pemilu 2019 yang meninggal dunia terdapat 440 orang. Selain itu, sebanyak 3.788 orang petugas lainnya mengalami sakit.
Kondisi tersebut mendorong Universitas Gadjah Mada (UGM) membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Kajian Mortalitas Petugas Pemilu 2019. Pokja itu diisi oleh para pengajar dan peneliti dari tiga fakultas di perguruan tinggi tersebut, yakni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Fakultas Psikologi, dan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK).
“Kami ingin melakukan studi lintas disiplin yang mendalam agar kejadian ini tidak terbebani berlebihan oleh muatan politik. Kejadian ini banyak dibicarakan dan digoreng melampaui faktanya,” kata Koordinator Pokja Kajian Mortalitas Petugas Pemilu 2019 Abdul Gaffar Karim, di Fisipol UGM, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (9/5/2019).
Kami ingin melakukan studi lintas disiplin yang mendalam agar kejadian ini tidak terbebani berlebihan oleh muatan politik. Kejadian ini banyak dibicarakan dan digoreng melampaui faktanya
Gaffar mengungkapkan, penelitian mengenai topik tersebut akan dilakukan dalam waktu dekat. Sementara ini, lokasi penelitian yang dipilih baru wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta saja. Ketiga fakultas juga telah bertemu dan melakukan diskusi kelompok terarah (focus group discussion) untuk membahas rencana penelitian itu.
Selain itu, Gaffar menyampaikan, pihaknya tak memungkiri bahwa ada sejumlah pihak yang berusaha memainkan isu meninggalnya sejumlah petugas penyelenggara pemilu tersebut sudah direncanakan sehingga bisa mendelegitimasi hasil pemilu. Ia berpendapat, pemikiran tersebut tidak dapat dibenarkan sama sekali.
“Kalaupun ada petugas yang meninggal, itu tidak mengganggu proses penghitungan suara. Ada barangkali kesalahan kecil. Tetapi, kami tidak menemukan indikasi bahwa kejadian itu berlangsung terencana, masif, dan terstruktur. Kami tidak melihat ada alasan untuk mendelegitimasi pemilu,” kata Gaffar.
Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto mengatakan, faktor penyebab meninggalnya petugas penyelenggara pemilu itu tidak tunggal. Ada berbagai hal yang membuat para petugas merasa tertekan sehingga kesehatannya terganggu. Di samping itu, proses penghitungan lima surat suara itu memang sangat melelahkan dan memakan waktu yang sangat panjang.
Kalaupun ada petugas yang meninggal, itu tidak mengganggu proses penghitungan suara. Ada barangkali kesalahan kecil. Tetapi, kami tidak menemukan indikasi bahwa kejadian itu berlangsung terencana, masif, dan terstruktur. Kami tidak melihat ada alasan untuk mendelegitimasi pemilu
“Jangan sampai peristiwa ini justru digoreng menjadi alasan untuk mendelegitimasi pemilu. Sebaliknya, kita harus memahami dan mencari apa yang menjadi penyebab para petugas penyelenggara pemilu itu meninggal,” kata Erwan.
Terkait hal itu, Gaffar menuturkan, berdasarkan cerita dari sejumlah relawan UGM yang turut menjadi petugas penyelenggara maupun saksi pemilu mendapatkan tekanan besar. Sejak awal, sudah ada tudingan-tudingan mereka akan berbuat curang. Kondisi itu mengakibatkan mereka tertekan tidak hanya secara fisik, tetapi juga psikologisnya.
Sementara itu, Dekan Fakultas Psikologi UGM Faturochman mempertanyakan apakah beban dan ergonomika kerja turut diperhitungkan dalam perencanaan penyelenggaraan pemilu lalu. Peristiwa memilukan ini hendaknya dijadikan pelajaran. Ia meminta semua pihak tetap menghargai petugas pemilu yang telah gugur dalam menjalankan tugasnya tersebut.
Dedikasi tinggi
“Mereka punya dedikasi tinggi. Mereka berjuang dengan berbagai tekanan untuk memastikan pemilu tetap terselenggara. Jangan sampai justru ada dorongan mendelegitimasi hasil yang ada. Saya khawatir, sebelum sistem pemilu diperbaiki, kita bisa dapat korban yang lebih banyak lagi (jika ingin mengulangi pemilu),” kata Gaffar.
Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM Ova Emilia mengatakan, dalam perekrutan petugas pemilu, seharusnya ada standar operasional yang jelas mengenai untuk memenuhi syarat kesehatan. Beban kerja yang tinggi menuntut petugas memiliki kondisi fisik yang prima. Sementara itu, diketahui sebagian besar petugas yang meninggal itu telah berusia lebih dari 60 tahun.
Ova mengungkapkan, secara umum, kelelahan tidak bisa dijadikan penyebab tunggal kematian sesorang. Ada faktor risiko yang bisa mendorong seseorang meninggal dunia setelah mengalami kelelahan. Kerap kali faktor risiko itu tidak banyak disadari oleh masyarakat.