Di antara pelbagai jenis jajanan pasar yang dijual Fira (28) di gerbang Kelurahan Istiqlal, Wenang, Manado, Sulawesi Utara, menjelang waktu buka puasa, ada setumpuk pak transparan yang menarik rasa penasaran. Di dalamnya, empat gulungan putih kekuningan dari tepung bertabur bawang goreng menunggu diguyur kuah santan putih sebelum disantap. Itulah roti kukus khas Kampung Arab.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
Di antara pelbagai jenis jajanan pasar yang dijual Fira (28) di gerbang Kelurahan Istiqlal, Wenang, Manado, Sulawesi Utara, menjelang waktu buka puasa, ada setumpuk pak transparan yang menarik rasa penasaran. Di dalamnya, empat gulungan putih kekuningan dari tepung bertabur bawang goreng menunggu diguyur kuah santan putih sebelum disantap. Itulah roti kukus khas Kampung Arab.
Semakin sore, jajaran lapak semipermanen pedagang musiman di Kelurahan Istiqlal makin riuh oleh para pencari takjil. Dengan bantuan ayahnya, Saleh (58), Fira melayani pelanggan yang datang silih berganti. Sejak pukul 14.00 hingga 17.00 Wita, hanya tersisa 11 dari total 70 pak roti kukus.
”Roti kukus ini memang cuma ada di Kampung Arab dan hanya waktu Ramadhan. Banyak orang dari daerah-daerah lain yang datang ke sini buat beli roti ini. Kami juga punya langganan yang setiap tahun selalu mampir,” kata Fira.
Roti kukus yang disebut-sebut ”endemik” di Kelurahan Istiqlal—lebih akrab disebut Kampung Arab karena mayoritas warganya beretnis Arab—ini terbuat dari tepung terigu. Fira membuat sendiri tepungnya dengan campuran susu dan sedikit gula. Lembaran tipis roti terigu itu diisi bihun dan suwir cakalang, lalu digulung.
Bawang goreng ditaburkan untuk menghias permukaan roti gulung itu sekaligus menguatkan aroma. Kuah santan menyempurnakan hidangan itu.
”Semua bahan kami buat sendiri. Cakalangnya dibakar dulu sebelum disuwir, sedangkan bihunnya digoreng. Baru kemudian gulungan roti dipanggang pakai teflon di kompor,” kata Fira menerangkan.
Dari melihat tampilannya saja sudah terbayang rasa gurih nan asin yang siap memanjakan lidah dan perut yang sudah seharian menahan lapar. Kuah santan membuat tekstur roti menjadi lembek sehingga mudah dikunyah dan melewati kerongkongan.
Semua bahan kami buat sendiri. Cakalangnya dibakar dulu sebelum disuwir, sedangkan bihunnya digoreng. Baru kemudian gulungan roti dipanggang pakai teflon di kompor.
Suharto Abdulaziz (50), warga Banjer, Tikala, berhasil mengamankan satu tas plastik berisi empat pak roti kukus. Hidangan ini menjadi menu wajib keluarganya selama Ramadan. ”Roti ini juga sangat spesial karena hanya ada sebulan dalam setahun. Keluarga saya sangat suka,” kata Suharto yang juga lahir dan besar di Kampung Arab Istiqlal.
Kenikmatan roti ini juga masyhur di kalangan warga Manado yang tidak berpuasa. Joyce Bukarakombang (43), misalnya, jatuh cinta dengan kelezatan roti kukus. ”Sayangnya cuma ada saat Ramadhan, tidak bisa sering beli,” katanya.
Mengapa roti kukus khas Kampung Arab hanya ada saat Ramadhan? Mengapa hanya ada di sana? Siapa yang pertama kali membuatnya? Hal ini tetap menjadi misteri.
Fira dan Saleh yang telah bertahun membuat dan menjajakan pun tidak tahu. ”Tidak tahu asal mulanya bagaimana, pokoknya sudah ada sejak saya kecil. Yang saya tahu, ini memang khas di Kampung Arab, tidak ada di tempat lain. Kami yang sudah pindah ke daerah Tuminting saja tetap berjualan di sini karena orang akan mencari di sini,” kata Saleh.
Menjadi Indonesia
Haji Thaha Bachmid (66), imam Masjid Al-Masyhur yang merupakan generasi keempat keluarga Bachmid di Manado, juga tidak benar-benar tahu sejarah munculnya roti kukus berisi bihun dan cakalang itu. Namun, ia memperkirakan, roti tersebut merupakan hasil akulturasi budaya kuliner Arab dengan budaya makan setempat.
”Dulu, orang Arab di sini membawa kebiasaan makan semacam roti canai yang diisi daging kambing di hari-hari tertentu. Roti itu dimakan dengan bumbu seperti kare. Tetapi, kan, harga kambing tergolong mahal. Makanya, orang-orang mulai menggantinya dengan cakalang dan kuah santan supaya lebih banyak orang bisa menikmati,” kata Thaha.
Diam-diam, peralihan dari daging kambing ke ikan cakalang yang berlimpah dari Teluk Manado menjadi instrumen diplomasi kuliner warga keturunan Arab dan pemeluk Islam di ”Bumi Nyiur Melambai” Manado. Hasilnya, warga keturunan Arab semakin terintegrasi sebagai warga kota. Kerukunan antarkelompok pun semakin kokoh.
Dulu, orang Arab di sini membawa kebiasaan makan semacam roti canai yang diisi daging kambing di hari-hari tertentu. Roti itu dimakan dengan bumbu seperti kare. Tetapi, kan, harga kambing tergolong mahal. Makanya, orang-orang mulai menggantinya dengan cakalang dan kuah santan supaya lebih banyak orang bisa menikmati.
Thaha mengatakan, pada mulanya orang Arab datang ke Manado untuk berdagang, termasuk berdagang roti kukus. Dengan warga Manado yang mayoritas beragama Kristen, interaksi sosial berlangsung baik tanpa gesekan berarti. Bahkan, tidak jarang warga keturunan Arab menikah dengan penduduk Nusantara di Sulut.
”Orang Arab datang ke sini untuk menjadi bagian dari orang-orang di sini. Kami menyatu dengan identitas kami yang baru, yaitu bangsa Indonesia. Momen-momen seperti Ramadhan ini yang mendekatkan kita karena orang akan mencari roti kukus yang khas hanya di Kampung Arab,” tutur Thaha.
Ia menilai, toleransi antarsuku dan antaragama di Manado bisa terus dijaga. Karena itu, ia menyayangkan berbagai konflik yang terjadi baru-baru ini, terutama lantaran perbedaan pandangan politik. ”Islam selalu mengajarkan perdamaian, tetapi itu bisa terancam gara-gara kepentingan-kepentingan politik,” katanya.
Sejarawan Universitas Sam Ratulangi, Roger Kembuan, mengatakan, Manado memang menjadi salah satu pusat toleransi di Nusantara. Setelah warga keturunan Arab datang ke Karesidenan Manado pada awal 1800-an, warga kota sebenarnya disegregasikan sesuai dengan etnisitasnya.
”Meski begitu, mereka selalu bertemu di pusat perdagangan kota untuk kegiatan berdagang. Akhirnya terbentuk budaya urban, yaitu kebiasaan untuk saling menghargai perbedaan. Ada juga ruang publik untuk nongkrong bersama, seperti di Jalan Roda. Kerukunan ini terbawa sampai sekarang,” kata Roger.