Azan berkumandang di Wihara Welas Asih, Kota Cirebon, Jawa Barat, Minggu (12/3/2019) petang. Ratusan warga beragam agama, budaya, dan profesi, termasuk pengemis, berbuka puasa bersama Ibu Sinta Nuriyah Wahid.
Mereka duduk beralas karpet di halaman wihara yang berdiri tahun 1595 itu. Sebelum berbuka puasa, perwakilan sejumlah agama menampilkan seni budaya. Selain rampak tambur dari pemuda wihara, ada tari pendet Bali serta paduan suara gereja yang menyanyikan ”Dari Sabang sampai Merauke” dan ”Rayuan Pulau Kelapa”.
”Saya bisa melihat langsung miniatur Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika, di sini. Sungguh menyenangkan,” ucap Ibu Sinta yang duduk di kursi roda. Istri KH Abdurrahman Wahid, presiden keempat RI, itu berdialog dengan hadirin. Di tengah acara, Wakil Wali Kota Cirebon Eti Herawati datang.
Kebersamaan dalam keberagaman, menurut Sinta, merupakan senjata ampuh melawan virus kebencian di hati manusia Indonesia. Virus itu mewujud dalam ujaran kebencian dan hoaks.
”Hati kita bergejolak karena Pemilu 2019. Saya berharap virus kebencian bisa diredam,” ujar Sinta. Kegiatan yang digelar Panitia Bersama Sahur Keliling 2019 dan Jaringan Cirebon Damai itu bertema ”Dengan Berpuasa, Kita Padamkan Api Kebencian dan Hoaks”.
Ketua penyelenggara Haryono (25) mengatakan, semua panitia merupakan pemuda perwakilan sejumlah agama di Cirebon. Dana kegiatan diperoleh dari urunan. ”Senang sekali diajak. Kami berlatih sekitar dua minggu. Ini pertama kali kami menyanyi di kelenteng,” ujar Marselo, pimpinan paduan suara Gereja Isa Almasih.
Kegiatan serupa pernah digelar di Kelenteng Talang Kota Cirebon pada 2014. Hampir setiap tahun, komunitas Pemuda Lintas Iman (Pelita) menggelar buka puasa di sejumlah kelenteng di Cirebon. Menurut penanggung jawab kegiatan, Halim Eka Wardhana, Ibu Sinta sudah lima kali hadir di acara itu di Cirebon.
Tahun ini acara serupa dilaksanakan di 40 lokasi yang tersebar di Jawa, Sumatera, hingga Nusa Tenggara Barat. Eti meyakini, tidak ada gejolak di Cirebon saat pengumuman hasil Pemilu 2019 pada 22 Mei. ”Kebersamaan dalam keberagaman menjadi kekuatan Cirebon,” ucapnya.
Keberagaman di Cirebon sangat alami dan saling melengkapi. Dalam naskah Purwaka Caruban Nagari tahun 1720, Pangeran Arya Carbon menuliskan, Cirebon berasal dari kata sarumban lalu diucapkan caruban yang berarti ’campuran’. Orang berbagai etnis dari Jawa, Tionghoa, hingga Arab bercampur di kota ini.
Sunan Gunung Jati yang memimpin Cirebondi abad ke-15 berpesan, ”Den welas asih ing sapapada.” Artinya, hendaklah menyayangi sesama manusia tanpa melihat latar belakang budaya dan keyakinan yang dianut.(Abdullah Fikri Ashri)