Penanggulangan kasus HIV/AIDS belum menjadi perhatian utama di Nusa Tenggara Timur . Permasalahannya beragam, mulai dari sistem pelaporan kasus tidak dilakukan, alokasi anggaran untuk kegiatan sosialisasi penanggulangan kasus pun terbatas, hingga merebaknya izin tempat-tempat hiburan.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·3 menit baca
KUPANG, KOMPAS — Penanggulangan kasus HIV/AIDS belum menjadi perhatian utama di Nusa Tenggara Timur. Permasalahannya beragam, mulai dari sistem pelaporan kasus tidak dilakukan, alokasi anggaran untuk kegiatan sosialisasi penanggulangan kasus pun terbatas, hingga merebaknya izin tempat-tempat hiburan.
Sekretaris Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi (KPAP) Nusa Tenggara Timur dr Husen Pankratius di Kupang, Selasa (14/5/2019), mengatakan, laporan terakhir kasus HIV/AIDS dari kabupaten/kota adalah September 2018. Tahun ini belum satu kabupaten/kota pun melaporkan perkembangan data terakhir ke KPAP.
”Bupati, dan wali kota seperti tidak peduli dengan kasus HIV/AIDS ini. Kantor KPAD di setiap kabupaten/kota sudah ada, tetapi perhatian pemda terhadap kantor-kantor itu sangat minim, ditandai dengan alokasi anggaran untuk pembinaan dan sosialisasi HIV yang sangat minim di daerah itu,” kata Husen.
Hingga September 2018 ada 6.125 kasus HIV/AIDS. Sebanyak 2.951 adalah HIV dan AIDS mencapai 3.174 orang dan ODHA meninggal dunia mencapai 1.344 orang. Ini kasus serius, tetapi tidak mendapat perhatian sekali dari unsur pimpinan daerah di kabupaten/kota.
Ia mengatakan, 98 persen penyebaran virus HIV melalui hubungan seksual. Sementara itu, izin kehadiran pusat-pusat hiburan malam dan pijat tradisional terus dikeluarkan. Di Kota Kupang, misalnya, ada sekitar 45 pijat tradisional yang juga kerap dipakai sebagai tempat prostitusi terselubung.
Tempat itu ada di tengah permukiman warga. Hampir setiap kelurahan ditemukan 1-3 tempat pijat, belum termasuk hotel-hotel tertentu yang diduga terlibat prostitusi.
Para mantan TKI/TKW dari luar negeri pun penyumbang cukup besar kasus HIV di NTT, yakni 1.212 kasus. Begitu pulang sebagai TKI/TKW, mereka tidak memeriksa kesehatan dan tidak menggunakan alat pengaman saat bertemu istri, suami, atau pacar. Kasus HIV pertama ditemukan di Adonara, Flores Timur, 1997, dari seorang pria mantan TKI Malaysia.
KPAP NTT telah membentuk paguyuban warga peduli HIV/AIDS (WPA) di setiap kelurahan di Kota Kupang. Setiap RT terdapat 10-20 anggota. Tahun 2017, sebanyak 21.000 warga Kota Kupang melakukan tes HIV di enam klinik VCT (voluntary counselling and testing) di Kota Kupang. Dari VCT itu, sebanyak 65 orang positif mengidap HIV.
”WPA ini sudah terbentuk di setiap desa dan kelurahan di semua kabupaten kota, tetapi tidak ada yang memotivasi mereka. Kelemahan ada di pimpinan daerah. Jika camat dan lurah selalu diingatkan, kegiatan penyuluhan berjalan lancar. Makin banyak kasus ditemukan, itu jauh lebih baik dibandingkan didiamkan saja,”kata Husen.
Hr (48), ODHA yang berprofesi sebagai pelatih basket sejumlah sekolah di Kota Kupang, mengatakan, melakukan VCT itu jauh lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Jika terbukti positif, orang bersangkutan langsung ditangani dengan mengonsumsi antiretroviral (ARV). Hr menjalaninya sejak 20 tahun silam.
Sukarelawan HIV/AIDS ini mengatakan, kehadiran ARV membuat banyak ODHA terbantu. Mereka bisa melakukan berbagai aktivitas, atau berproduksi seperti masyarakat lain untuk membantu ekonomi keluarga. ODHA bisa memiliki keturunan tanpa menyebabkan bayi di dalam kandung mengidap HIV serupa, tentu berkoordinasi dengan dokter.
Hr mengaku memiliki dua putra. Semuanya sehat-sehat meski dirinya mengidap HIV. Ia menikah dengan seorang perempuan sehat. Namun, setelah dua tahun, istri Hr juga harus mengonsumsi rutin ARV karena mengidap HIV.
Wakil Wali Kota Kupang dr Herman Man membantah pihaknya tidak peduli dengan penyebaran HIV. Hal ini dibuktikan dengan penutupan lokalisasi Karang Dempel di Tenau, sekitar 15 km dari Kota Kupang, Januari 2019.
”Saat ini pemkot tidak lagi memberi izin pembukaan pusat hiburan atau tempat pitrad (pijat tradisional). Tempat hiburan yang ada sudah lama berdiri. Tetapi, jika pengelola tempat hiburan melanggar ketentuan, seperti beroperasi lebih dari waktu yang ditentukan, dan pelanggaran lain, akan dicabut izin operasional,”kata Man.