Lautan Minyak di Desa Pompa Air
Pencarian air bersih dengan sumur bor di belakang rumah Legiono (54) tak seperti diharapkan. Bukan air bersih yang menyembur dari pipa, melainkan minyak. Dalam sekejap, semburan minyak mengubah kehidupan di Desa Pompa Air, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Jambi.
Kabar mengenai temuan minyak itu cepat tersiar. Banyak warga ikut membuka sumur baru. Aktivitas pengeboran dengan cepat meluas di kebun-kebun warga.
Dalam rentang satu tahun, lebih dari 1.500 sumur bor dibuka. Aktivitas pengeboran terus merambat sampai areal konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Thaha Syaifuddin yang merupakan wilayah kerja pertambangan PT Pertamina EP.
Dari salah satu sumur bor itu Sarminah mengais rezeki. Seharian ia menampung luapan minyak hasil pengeboran. Selembar kain dibenamkan ke dalam genangan minyak berwarna kemerahan, lalu diperas. Perasan minyak ditampung ke dalam wadah, lalu dikumpulkan ke dalam drum.
Setelah hasil perasan terkumpul dalam drum berkapasitas 200 liter, Sarminah memperoleh upah Rp 300.000. Dalam sehari, ia bisa mengumpulkan dua drum minyak.
Upah yang didapat Sarminah jauh lebih besar ketimbang upah menyadap getah karet. Apalagi, harga karet belakangan makin anjlok. Memeras minyak menjadi satu-satunya harapan penghidupan. “Empat anak saya masih sekolah. Butuh biaya sangat besar,” ujarnya.
Penemuan minyak tidak hanya mengubah kehidupan para buruh di kebun karet. Petani pun mulai meninggalkan tanamannya. Karet, sawit, dan berbagai jenis tanaman pangan terbengkalai. Lahan dibuka untuk pengeboran minyak.
Sepanjang waktu hamparan tanaman itu digenangi minyak. Tanaman pun akhirnya mati.
Bukan biaya kecil untuk membuka sumur tambang. Diperlukan paling tidak Rp 40 juta per sumur. Pemilik sumur harus bermodal besar.
Namun, potensi ekonomi yang bisa diraup ketika minyak berhasil didapat sangat besar. Hasil pengeboran dapat diolah menjadi mirip solar bernilai jual Rp 3.000 per liter.
Jika hasil penyulingan minyak diedarkan ke usaha penjualan bahan bakar minyak eceran, harganya berkisar Rp 5.500-Rp 6.500 per liter. Bisa dibayangkan besarnya keuntungan yang diraup pemodal dengan mengedarkan hasil minyak sulingan ilegal ke pasaran.
Penelusuran Kompas, dalam sehari ada lebih dari 1.200 truk dan pikap mengangkut hasil minyak dari wilayah itu. Volume minyak itu paling sedikit 8.000 ton. Sebagian besar hasil minyak disuling menjadi bahan bakar yang warna, aroma, dan kandungannya mendekati solar. Namun, jika bahan bakar itu dimasukkan ke tangki, mesin akan lebih cepat rusak.
Kepala Bidang Energi Terbarukan dan Tidak Terbarukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jambi Zulfahmi mendapati maraknya distribusi minyak ilegal dengan modus pengoplosan. Minyak ilegal dicampur dengan bahan bakar minyak resmi produksi PT Pertamina (Persero). Minyak oplosan dijual tak hanya di usaha penjualan BBM eceran, tetapi juga ke stasiun pengisian bahan bakar umum. ”Sayangnya, hingga kini praktik tersebut belum ditertibkan,” ujar Zulfahmi.
Jual beli lahan
Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Batanghari menelusuri praktik jual beli lahan marak sebagian besar di kawasan tahura yang mencakup Desa Pompa Air dan Bungku. Dari hasil pemetaan, didapati banyak pemodal yang mengklaim baik sebagai pemilik lahan maupun penyewa lahan, mulai dari tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, hingga aparat penegak hukum, dan aparatur sipil negara. Klaim lahannya tidak tanggung-tanggung. Salah satu korporasi diindikasikan mengklaim hingga 20.000 meter persegi (m2). Sementara kebanyakan perorangan mengklaim 5.000 hingga 25.000 m2. Seluruh lahan dibuka untuk pengeboran minyak ilegal.
Di Desa Bungku, paling sedikit 350.000 m2 areal telah dibuka menjadi lokasi pengeboran. Di Desa Pompa Air, areal yang dibuka lebih luas lagi.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup Batanghari Parlaungan Nasution mengatakan, praktik ilegal itu merugikan manusia dan lingkungan. Sebagian wilayah tahura kini hancur. Butuh waktu lama untuk memulihkan kembali. Kehidupan satwa dan tumbuhan lenyap. Bahkan, kesehatan warga di sana juga terancam.
Ia menyebutkan, sudah ada korban tewas akibat tungku penyulingan minyak meledak. Warga sekitar telah mengeluhkan air sumur mereka tercemar limbah minyak. Dari sisi kesehatan, terjadi lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan infeksi kulit. Temuan ISPA di Desa Pompa Air naik hampir 300 persen.
Sementara kasus infeksi kulit ada 177 orang pada tahun 2018. Tahun sebelumnya ada 110 orang. ”Peningkatan kasus yang signifikan ini terkait erat dengan maraknya aktivitas tambang minyak ilegal,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Batanghari Elfi Yenni.
Tanpa upaya cepat menutup tambang ataupun usaha penyulingan minyak ilegal, jumlah korban dan kerugian lingkungan semakin besar. Ancaman bencana tak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh para pemain minyak.
Hasil pemetaan soal praktik tambang minyak liar tersebut telah ada. Telah juga dilaporkan kepada pemerintah pusat. Saatnya menagih komitmen negara menyelamatkan warganya dari ancaman bencana.
(Irma Tambunan)