Mobil angkot Fence Repi (55) melaju lambat di Jalan Kampus Selatan, Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, yang masuk dalam trayek 01 Malalayang-pusat kota. Dari delapan kursi penumpang di belakang pada Selasa (14/5/2019) siang yang terik itu, hanya empat yang terisi.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Mobil angkutan kota Fence Repi (55) melaju lambat di Jalan Kampus Selatan, Malalayang, Manado, Sulawesi Utara, yang masuk dalam trayek 01 Malalayang-pusat kota. Dari delapan kursi penumpang di belakang pada Selasa (14/5/2019) siang yang terik itu, hanya empat yang terisi. Kursi depan diduduki Fice Rasu (55), istrinya.
Seperti angkot di Manado pada umumnya—akrab disebut mikro—Fence memasang pemutar musik digital dengan slot USB untuk flashdisk. Ada beberapa pengeras suara di bagian dasbor, begitu juga di atap. Di bawah kursi penumpang paling belakang, ada dua amplifier besar untuk memperkuat bas pemain musik.
Semua perlengkapan itu ditopang tenaga aki yang sengaja dipasang khusus untuk keperluan memutar musik. Namun, siang itu, hanya deru mesin yang terdengar dari mikro yang dibeli Fence pada 2007 itu. ”Dulu ini mobil gaul. Kalau dinyalakan masih bisa, tapi saya mengurangi berisik karena saya mulai tua,” kata Fence.
Mikro di Manado memang terkenal dengan suara musik yang menggelegar. Para sopir niat merogoh kocek hingga jutaan rupiah untuk mendapatkan sistem pemutar lagu terbaik yang paling nyaring. Fence mengatakan, tren tersebut dimulai sekitar 20 tahun lalu.
Tidak hanya itu, para sopir mendandani mikro mereka sekeren mungkin. Sebut saja merendahkan sasis mobil hingga hanya sejengkal dari aspal, memasang velg perak berkilau, hingga menghias bagian interior mobil dengan gemerlap lampu.
Dulu ini mobil gaul. Kalau dinyalakan masih bisa, tapi saya mengurangi berisik karena saya mulai tua.
”Itu jadi daya tarik untuk anak muda. Mereka hanya mau naik mikro yang keren dan yang memutar lagu dengan keras,” ujar Fence.
Steven (23), juga sopir mikro di trayek 01, sependapat. Mikro yang menarik dan ”berisik” menjadi daya tarik bagi penumpang, terutama pelajar SMA dan SMP. Sopir semakin semangat karena setiap tahun ada perlombaan modifikasi angkot yang digelar klub-klub mikro.
”Musik bikin penumpang dan sopir tidak mengantuk. Tapi, penumpang yang tua tidak terlalu suka. Jadi harus peka. Kalau penumpang lagi bertelepon atau sedang banyak penumpang tua, kami kecilkan volumenya,” tutur Steven.
Cenderung sunyi
Namun, siang itu ratusan mikro yang lewat di trayek 01 cenderung sunyi. Mayoritas sopir tidak memutar lagu. Suasana ini berbeda dengan yang digambarkan di media sosial tentang semaraknya mikro di Jalan Boulevard Pierre Tendean. Mungkinkah mikro telah kehilangan ”gaul”-nya?
”Sekarang, mereka lebih suka kumpul sampai empat atau lima orang, kemudian pesan taksi online (dalam jaringan/daring) sehingga biaya jadi lebih murah,” kata Fice yang sering mendampingi suaminya bekerja.
Setelah 25 tahun menggeluti pekerjaannya, pendapatan bersih Fence yang dahulu Rp 100.000 per hari terdisrupsi angkutan daring menjadi hanya sekitar Rp 30.000 per hari.
Menurut dia, pendapatannya dulu bisa untuk menyekolahkan anak hingga bergelar sarjana. Sekarang, pendapatannya hanya untuk kebutuhan sehari-hari.
Pendapatannya dulu bisa untuk menyekolahkan anak hingga bergelar sarjana. Sekarang, pendapatannya hanya untuk kebutuhan sehari-hari.
Adapun Steven yang masih muda tetap bisa mendapatkan Rp 80.000-Rp 100.000 per hari. Hal itu bukan tanpa pengorbanan, yaitu bekerja 12 jam nyaris tanpa jeda, untuk mendapatkan target pendapatan.
Sound system yang disebut menarik penumpang tak lagi dapat berbuat banyak. ”Sebenarnya tidak ada aturan yang melarang pasang musik keras-keras. Tapi, kalau sudah apes didengar dishub (dinas perhubungan), tape kami bisa disita,” kata Fice.
Makna ”gaul” untuk pemuda Manado pun kini telah bergeser menjadi ”cepat” dan ”nyaman”. Anggrenia (18), mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, hampir setiap hari naik ojek daring. Menurut dia, musik yang terlalu keras malah mengganggu. Ketepatan waktu dan kemudahan penjemputan lebih penting.
Reevert (19), warga Wanea yang lahir dan besar di Manado, bahkan tak pernah menjadikan mikro sebagai transportasi andalannya. Ia bepergian menggunakan jasa GrabCar lima hari dalam sepekan. ”Musik dan modifikasi itu tidak menarik. Yang terpenting kenyamanan dan kecepatan,” ujarnya.
Tetap andalan
Kendati begitu, mikro tetap menjadi ujung tombak Pemerintah Kota Manado untuk pemenuhan kebutuhan transportasi warga. Kepala Dishub Kota Manado Michael Tandirerung mengatakan, pemkot akan memperlebar trayek 01 dan trayek 02 (Terminal Malalayang-Terminal Karombasan) ke area Kayu Bulan, Malalayang, yang akan menjadi lokasi baru bagi Pasar Bahu.
Total 4.507 mikro terdaftar pada 17 trayek di Manado per akhir April 2019. Jumlah mobil yang aktif melayani penumpang mencapai 2.726. Trayek 01 adalah yang terpadat dengan 588 mikro yang aktif.
Penumpang angkot tetap ada, terkadang sampai penuh. Namun, sopir jadi harus berebut pasar ketika jumlah penumpang sudah berkurang. Apalagi, sumber pemasukan sopir bukan gaji seperti sopir JakLingko di Jakarta, melainkan ongkos jalan penumpang.
Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Dishub Manado Donald Wilar mengakui, ada penurunan tingkat keterisian angkot dari 80 persen menjadi 50 persen per hari. Hal ini diiringi dengan penurunan pendapatan sopir.
”Tapi, buktinya masih banyak mikrolet yang full variasi dengan sound system. Artinya, ada pendapatan lebih,” kata Donald.
Sopir angkot pun tidak perlu khawatir. Sebab, segmen pasar mikro sudah jelas, yaitu pelajar dan masyarakat menengah ke bawah. Namun, tetap perlu ada perubahan dalam pelayanan yang diberikan mikro.
”Manado tidak akan begini-begini terus. Perlu ada pembaruan moda di masa depan. Tapi, untuk sekarang, kita perlu meningkatkan keamanan dan kenyamanan angkot agar tidak ditinggalkan penumpang. Ini terus kami sosialisasikan,” tuturnya.
Pengamat transportasi Universitas Indonesia, Ellen SW Tangkudung, mengatakan, mikro di Manado memang masih tetap menjadi andalan sebagian masyarakat. Dari pengamatannya di sejumlah pasar, seperti Pasar Paal II dan Pasar Pinasungkulan, masyarakat tetap memilih naik mikro.
Keberadaan musik yang masih eksis di sebagian angkot layak dipertahankan. ”Itu sudah menjadi ciri khas lokal dan perlu dipertahankan sebagai daya tarik tersendiri. Namun, yang paling penting adalah meningkatkan aspek pelayanan, seperti keamanan, keselamatan, dan kenyamanan,” ujar Ellen.
Kendati begitu, Fence yang masih tekun mengelilingi rute Malalayang-pusat kota tak merasakan bantuan dari pemerintah. Pemasukannya sudah berkurang, tidak cukup untuk mengganti spion kiri mikronya yang sudah raib. Namun, pemerintah bergeming.
Manado tidak akan begini terus. Perlu ada pembaruan moda di masa depan. Untuk sekarang, kita perlu meningkatkan keamanan dan kenyamanan angkot agar tidak ditinggalkan penumpang.
Ia malah curiga pemerintah menjadikan mikro sasaran empuk tilang. Di Jalan Sam Ratulangi, misalnya, belasan mikro tertahan di tepi jalan untuk diperiksa polisi dan petugas dishub.
”Kami juga harus membayar izin trayek dan uji kir. Sedangkan yang online itu bagaimana? Kan, mereka pelat hitam, tidak harus uji kir dan tidak ada trayek,” ucapnya.
Keadaan memang sudah berbeda. Angkot pun terdisrupsi. Musik yang menjadikannya gaul dan keren tak lagi dapat menarik penumpang. Pembenahan pun terus ditunggu….